Pentingnya amalan hati

Pentingnya amalan hati
Secara umum amalan hati lebih penting dan ditekankan daripada amalan lahiriyah. Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah mengatakan:"Bahwasanya ia meru pakan pokok keimanan dan landasan utama agama, seperti mencintai Allah Subhannahu wa Ta'ala dan rasulNya, bertawakal kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala , ikhlas dalam menjalankan agama semata-mata karena Allah Subhannahu wa Ta'ala , bersyukur kepadaNya, bersabar atas keputusan atau hukumNya, takut dan berharap kepadaNya,.. dan ini semua menurut kesepakatan para ulama adalah perkara wajib (Al fatawa 10/5, juga 20/70)

Imam Ibnu Qayyim juga pernah berkata: "Amalan hati merupakan hal yang pokok dan utama, sedangkan anggota badan adalah pengikut dan penyempurna. Sesungguhnya niat ibarat ruh, dan gerakan anggota badan adalah jasadnya. Jika ruh itu terlepas maka matilah jasad. Oleh karena itu memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan hati lebih penting daripada memahami hukum-hukum yang berkaitan dengan gerakan anggota badan (Badai 'ul Fawaid 3/224).

Lebih jauh lagi dalam kitab yang sama beliau menegaskan bahwa perbuatan yang dilakukan anggota badan tidak ada manfaatnya tanpa amalan hati, dan sesungguhnya amalan hati lebih fardhu (lebih wajib) bagi seorang hamba daripada amalan anggota badan.

Kedudukan Ikhlas
Ikhlas merupakan hakikat dari agama dan kunci dakwah para rasul Shallallaahu 'alaihi wa Salam .
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan meunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. 98:5)
Juga firmanNya yang lain, artinya: "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya." (QS. 67:2)
Berkata Al Fudhail (Ibnu Iyadl, penj), makna dari kata ahsanu 'amala (lebih baik amalnya) adalah akhlasuhu wa Ashwabuhu, yang lebih ikhlas dan lebih benar (sesuai tuntunan).
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu beliau berkata: 'Aku mendengar Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Salam bersabda, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, artinya: "Aku adalah Tuhan yang tidak membutuhkan persekutuan , barang siapa melakukan suatu per-buatan yang di dalamnya menyekutukan Aku dengan selainKu maka Aku tinggalkan dia dan juga sekutunya." (HR. Muslim).

Oleh karenanya suatu ketaatan apapun bentuknya jika dilakukan dengan tidak ikhlas dan jujur terhadap Allah, maka amalan itu tidak ada nilainya dan tidak berpahala, bahkan pelakuknya akan menghadapi ancaman Allah yang sangat besar. Sebagaimana dalam hadits, bahwa manusia pertama yang akan diadili pada hari kiamat nanti adalah orang yang mati syahid, namun niatnya dalam berperang adalah agar disebut pemberani. Orang kedua yang diadili adalah orang yang belajar dan mengajarkan ilmu serta mempelajari Al Qur'an, namun niatnya supaya disebut sebagai qori' atau alim. Dan orang ketiga adalah orang yang diberi keluasan rizki dan harta lalu ia berinfak dengan harta tersebut akan tetapi tujuannya agar disebut sebagai orang yang dermawan. Maka ketiga orang ini bernasib sama, yakni dimasukkan kedalam Neraka. (na'udzu billah min dzalik).

Pengertian Ikhlas
Ada beberapa pengertian ikhlas, diantarnya:
Semata-mata bertujuan karena Allah ketika melakukan ketaatan.
Ada yang mengatakan ikhlas ialah membersihkan amalan dari ingin mencari perhatian manusia.
Sebagian lagi ada yang mendefinisikan bahwa orang yang ikhlas ialah orang yang tidak memperdulikan meskipun seluruh penghormatan dan peng-hargaan hilang dari dirinya dan berpindah kepada orang lain,karena ingin memperbaiki hatinya hanya untuk Allah semata dan ia tidak senang jikalau amalan yang ia lakukan diperhatikan oleh orang,walaupun perbuatan itu sepele.
Ditanya Sahl bin Abdullah At-Tusturi, Apa yang paling berat bagi nafsu? Ia menjawab: "Ikhlas, karena dengan demikian nafsu tidak memiliki tempat dan bagian lagi." Berkata Sufyan Ats-Tsauri: "Tidak ada yang paling berat untuk kuobati daripada niatku, karena ia selalu berubah-ubah."
Perusak-perusak Keikhlasan

Ada beberapa hal yang bisa merusak keikhlasan yaitu:

  • Riya' ialah memperlihatkan suatu bentuk ibadah dengan tujuan dilihat manusia, lalu orang-orangpun memujinya.
  • Sum'ah, yaitu beramal dengan tujuan untuk didengar oleh orang lain (mencari popularitas).
  • 'Ujub, masih termasuk kategori riya' hanya saja Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membedakan keduanya dengan mengatakan bahwa: "Riya' masuk didalam bab menyekutukan Allah denga makhluk, sedang ujub masuk dalam bab menyekutukan Allah dengan diri-sendiri. (Al fatawaa, 10/277)

Disamping itu ada bentuk detail dari perbuatan riya' yang sangat tersembunyi, atau di sebut dengan riya' khafiy' yaitu:

  • Seseorang sudah secara diam-diam melakukan ketaatan yang ia tidak ingin menampakkannya dan tidak suka jika diketahui oleh banyak orang, akan tatapi bersamaan dengan itu ia menyukai kalau orang lain mendahului salam terhadapnya, menyambutnya dengan ceria dan penuh hormat, memujinya, segera memenuhi keinginannya, diperlakukan lain dalam jual beli (diistimewakan), dan diberi keluasan dalam tempat duduk. Jika itu semua tidak ia dapatkan ia merasa ada beban yang mengganjal dalam hatinya, seolah-olah dengan ketaatan yang ia sembunyikan itu ia mengharapkan agar orang selalu menghormatinya.
  • Menjadikan ikhlas sebagai wasilah (sarana) bukan maksud dan tujuan.
  • Syaikhul Islam telah memperingatkan dari hal yang tersembunyi ini, beliau berkata: "Dikisahkan bahwa Abu Hamid Al Ghazali ketika sampai kepadanya, bahwa barangsiapa yang berbuat ikhlas semata-mata karena Allah selama empatpuluh hari maka akan memancar hikmah dalam hati orang tersebut melalui lisanya (ucapan), berkata Abu Hamid: "Maka aku berbuat ikhlas selama empat puluh hari, namun tidak memancar apa-apa dariku, lalu kusampaikan hal ini kepada sebagian ahli ilmu, maka ia berkata: "Sesungguhnya kamu ikhlas hanya untuk mendapatkan hikmah, dan ikhlasmu itu bukan karena Allah semata.
  • Kemudian Ibnu Taymiyah berkata: "Hal ini dikarenakan manusai terkadang ingin disebut ahli ilmu dan hikmah, dihormati dan dipuji manusia, dan lain-lain, sementara ia tahu bahwa untuk medapatkan semua itu harus dengan cara ikhlas karena Allah.Jika ia menginginkan tujuan pribadi tapi dengan cara berbuat ikhlas karena Allah,maka terjadilah dua hal yang saling bertentangan. Dengan kata lain, Allah di sini hanya dijadikan sebagai sarana saja, sedang tujuannya adalah selain Allah.
  • Yaitu apa yang diisyaratkan Ibnu Rajab beliau berkata: "Ada satu hal yang sangat tersembunyi, yaitu terkadang seseorang mencela dan menjelek-jelekan dirinya dihadapan orang lain dengan tujuan agar orang tersebut menganggapnya sebagai orang yang tawadhu' dan merendah, sehingga dengan itu orang justru mengangkat dan memujinya. Ini merupakan pintu riya' yang sangat tersembunyi yang selalu diperingatkan oleh para salafus shaleh.

Cara-cara mengobati riya'

  • Harus menyadari sepenuhnya , bahwa kita manusia ini semata-mata adalah hamba. Dan tugas seorang hamba adalah mengabdi dengan sepenuh hati, dengan mengharap kucuran belas kasih dan keridhaanNya semata.
  • Menyaksikan pemberian Allah, keutamaan dan taufikNya, sehingga segala sesuatunya diukur dengan kehendak Allah bukan kemauan diri sendiri.
  • Selalu melihat aib dan kekurangan diri kita, merenungi seberapa banyak bagian dari amal yang telah kita berikan untuk hawa nafsu dan syetan. Karena ketika orang tidak mau melakukan suatu amal, atau melakukannya namun sangat minim maka berarti telah memberikan bagian (yang sebenarnya untuk Allah), kepada hawa nafsu atau syetan.
  • Memperingatkan diri dengan perintah-perintah Allah yang bisa memperbaiki hati.
  • Takut akan murka Allah, ketika Dia melihat hati kita selalu dalam keadaan berbuat riya'.
  • Memperbanyak ibadah-ibadah yang tersembunyi seperti qiyamul lail, shadaqah sirri, menagis karena Allah dikala menyandiri dan sebagainya.
  • Membuktikan pengagungan kita kepada Allah, dengan merealisasikan tauhid dan mengamalkannya.
  • Mengingat kematian dan sakaratul maut, kubur dan kedah syatannya, hari akhir dan huru-haranya.
  • Mengenal riya', pintu-pintu masuk dan kesamarannya, sehingga bisa terbebas darinya.
  • Melihat akibat para pelaku riya' baik di dunia maupun di akhirat.
  • Meminta pertolongan dan perlindungan kepada Allah dari perbuatan riya'dengan membaca doa:"Ya Allah aku berlindung kepadamu dari berbuat syirik padahal aku mengetahui,dan aku mohon ampun atas apa-apa yang tidak ku ketahui."
  • Wallahu a'lam bis shawab.

Memahami Makna Ikhlas Dalam Beramal

Muqaddimah tentang pentingnya niat

Barangkali sebagian dari kita memberikan perhatian yang biasa-biasa saja terhadap niat, atau malah tidak mempedulikannya. Padahal niat adalah perkara yang sangat penting, dan berpengaruh pada hitam putih amalan kita. Orang-orang saleh dari zaman dahulu memberikan perhatian besar kepadanya. Yahya bin Abi Katsir al-Yamami berkata: "Pelajarilah niat; karena sungguh ia lebih penting dari amalan." Abdullah bin al-Mubarak mengatakan: "Betapa banyak amalan kecil yang dibesarkan oleh niat, dan betapa banyak amalan agung yang menjadi kecil karena niat."


Tapi meskipun demikian, keikhlasan niat tidaklah mudah diraih, bahkan orang-orang salehpun kesulitan utnuk mendapatkannya. Sufyan ats-Tsauri berkata: 'Aku tidak pernah mengobati sesuatu yang lebh sulit dari niat saya; karena ia selalu berubah-ubah." Ucapan ini keluar dari lisan seorang Sufyan ats-Tsauri, yang merupakan tokoh teladan dari generasi tabi'in. Bagimana dengan kita?

Hendaknya kita menjadikan ucapan beliau ini sebagai pelecut untuk mawas diri dalam bab ini. Karenanya, wajib bagi setiap mukmin untuk mempelajari hal ini dan saling mengingatkan.

Keikhlasan niat, syarat dalam setiap amalan.

Keikhlasan diperintahkan Allah dalam firmanNya:
وَمَاأُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
"Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya."

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: "Maksudnya meniatkan semua amalan lahir maupun batin untuk mencari pahala dari Allah dan kedekatan kepadaNya." Inilah yang dimaksud dengan ikhlas dalam beramal.
Keikhlasan adalah syarat mutlak dalam setiap amalan kita. Ia adalah salah satu syarat diterimanya amalan kita di sisi Allah. Nabi  bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ هَاجَرَ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ


"Sesungguhnya amalan-amalan itu sah dengan niat, dan setiap orang hanya mendapat apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrah karena Allah dan RasulNya, ia mendapat pahala hijrah karena Allah dan RasulNya. Dan barang siapa hijrah karena dunia yang ingin dia raih atau wanita yang ingin dia nikahi, maka itulah yang ia dapat dari hijrahnya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa amalan-amalan syar'i yang membutuhkan niat seperti shalat dan puasa tidak sah kecuali jika disertai niat yang ikhlas. Adapun amalan-amalan yang tidak membutuhkan niat, seperti makan dan berpakaian, ia akan memiliki nilai ibadah jika diiringi niat karena Allah. Amalan-amalan jenis kedua juga tidak dilewatkan oleh orang-orang saleh. Kebiasaan-kebiasaan yang merupakan kebutuhan biologispun mereka jadikan bernilai plus, dengan menjadikannya sarana menambah pahala. Sebagian mereka mengatakan: "Barangsiapa yang ingin sempurna amalannya, hendaknya ia memperbaiki niatnya, karena Allah memberikan pahala kepada hamba –jika baik niatnya- sampai pada sesuap nasi yang ia makan."

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa kadang ada dua orang yang secara lahir melakukan amalan yang sama, namun bisa jadi yang satu mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, sementara yang lain hanya biasa-biasa saja, atau malah mendapat murka.

Bahaya riya' (beramal agar dilihat dan dipuji orang lain)

Niat berpengaruh pada hitam putih amalan seorang hamba. Niat yang salah bisa menjadikan amalan yang agung menjadi penyebab malapetaka, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi  dalam sabda beliau:

« إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ ».

"Sesungguhnya orang yang pertama kali divonis hukuman pada hari kiamat adalah: (Pertama), orang yang gugur di medan perang. Ia didatangkan, lalu Allah mengingatkan ia akan nikmatNya, dan iapun ingat akan hal itu. Allah berkata: Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? Iapun menjawab: Aku telah berperang karenaMu, sehingga aku syahid. Allah berkata: Kamu bohong, tapi engkau berperang agar disebut pemberani, dan telah disebut demikian (di dunia). Lalu Allah perintahkan agar wajahnya ditarik sehingga dijatuhkan ke dalam neraka. (Kedua), orang yang mencari ilmu, mengajarkannya, serta membaca al-Quran. Ia didatangkan, lalu Allah mengingatkan ia akan nikmatNya, dan iapun ingat akan hal itu. Allah berkata: Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? Iapun menjawab: Aku telah mencari ilmu, mengajarkannya, dan membaca al-Quran karenaMu. Allah berkata: Kamu bohong, tapi kamu mencari ilmu agar dibilang ulama dan membaca al-Quran agar disebut qari', dan telah disebut demikian (di dunia). Lalu Allah perintahkan agar wajahnya ditarik sehingga dijatuhkan ke dalam neraka. (Ketiga), orang yang diberi keluasan rejeki dan semua jenis harta. Ia didatangkan dan Allah ingatkan ia akan nikmatNya, dan iapun ingat akan hal itu. Allah berkata: Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? Iapun menjawab: Tidak ada jalan yang Engkau senang untuk diinfaqi, kecuali aku telah berinfaq di jalan itu karenaMu. Allah berkata: Kamu bohong, tapi engkau berinfaq agar disebut dermawan, dan telah disebut demikian (di dunia). Lalu Allah perintahkan agar wajahnya ditarik sehingga dijatuhkan ke dalam neraka." (HR. Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika mendengar hadits ini, Mu'awiyah menangis sampai pingsan.

Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits ini, antara lain:
1. Ketiga amalan ini adalah amalan yang agung, namun karena tidak diiringi niat yang benar, ia menjadikan pelakunya sebagai bahan bakar neraka yang pertama kali.
2. Orang-orang yang dihukum mengatakan bahwa ia telah ikhlas, tapi tidak demikian bagi Allah yang lebih tahu isi hatinya daripada ia sendiri.
3. Ketiga golongan di atas telah mendapat gelar-gelar terhormat di dunia, namun itu tidak bermanfaat sama sekali di akhirat, karena niat yang salah.

Samarnya riya' (beramal agar dilihat dan dipuji orang lain).

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa ketiga orang tersebut mengatakan bahwa mereka beramal dengan ikhlas dan tidak riya', padahal tidak demikian di mata Allah. Ya, riya' memang samar dan tersembunyi, dan Rasulullah  pun menyebutnya demikian. Beliau bersabda:

« أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ: قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ: « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

"Tidakkah saya beritahu kalian tentang sesuatu yang lebih saya takutkan atas kalian daripada al-Masih ad-Dajjal? (Abu Sa'id al-Khudri) berkata: Kamipun menjawab: Ya. Beliau berkata: Syirik yang tersembunyi, seseorang shalat, kemudian menghiasi shalatnya karena dilihat orang lain." (HR. Ibnu Majah, dihasankan al-Albani)

Dalam hadits lain Nabi  menyebutnya syirik kecil. Beliau berkata:

« إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ « الرِّيَاءُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمُ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً ».

''Sungguh yang paling saya takutkan pada kalian adalah syirik kecil.' Orang-orang bertanya: Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil? Beliau menjawab: "Riya'. Allah akan berkata pada hari di mana para hamba mendapatkan balasan amalan mereka: Pergilah kepada orang-orang yang dulu kalian beramal agar dilihat mereka, dan lihatlah apa mereka memiliki ganjarannya!" (HR. Ahmad, dishahihkan al-Albani)

Macam-macam riya'.

Kadangkala keikhlasan dalam suatu amalan tercampuri oleh riya', bahkan terkadang keikhlasan menjadi sangat tipis atau malah sirna. Amalan yang tercampuri riya' ada beberapa macam:
1. Riya' murni, seperti shalat orang munafik. Ibnu Rajab menyebutkan bahwa riya' murni hampir tidak mungkin terjadi pada seorang mukmin dalam ibadah-ibadah yang tidak nampak seperti puasa, tapi mungkin terjadi dalam amalan-amalan yang nampak seperti sedekah dan haji. Tak diragukan lagi bahwa amalan seperti ini sia-sia dan pelakunya akan mendapat hukuman.
2. Keikhlasan yang bercampur riya'.
- Jika riya' mencampuri keikhlasan pada pokok amalan (dari awal), maka amalannya batal.

عَنْ أَبِى أُمَامَةَ الْبَاهِلِىِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: أَرَأَيْتَ رَجُلاً غَزَا يَلْتَمِسُ الأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَا لَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ شَىْءَ لَهُ ». فَأَعَادَهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ شَىْءَ لَهُ ». ثُمَّ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِىَ بِهِ وَجْهُهُ ».

Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata: Seseorang datang kepada Nabi  lalu berkata: Bagaimana orang yang berperang mencari pahala dan agar dikenang, apa yang ia dapat? Rasulullah menjawab: "Tidak dapat apa-apa". Beliau mengulanginya tiga kali, lalu berkata: "Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan, kecuali yang ikhlas karenaNya dan untuk mencari pahalaNya." (HR. an-Nasai, dishahihkan al-Albani)

- Adapun jika pokok amalan ikhlas, kemudian tercampuri riya' ditengah-tengah amalan, maka perlu dilihat:
# jika begitu riya' menggoda pelaku amalan segera mengusirnya, hal itu tidak merusak amalan menurut kesepakatan para ulama.
# Sedangkan jika riya' itu berlangsung lama, maka hal itu juga tidak sampai menghancurkan amalan, tapi mengurangi pahala, tergantung kadar dan panjang pendek masa riya' itu berlangsung, sebagaimana dijelaskan al-Hasan al-Bashri, Imam Ahmad dan Ibnu Jarir ath-Thabari.

Senang dengan pujian setelah selesai beramal

Jika seorang mukmin beramal dengan ikhlas, kemudian orang-orang memuji amalannya, bolehkah ia senang? Lalu apakah hal itu berpengaruh buruk pada amalannya? Ya, ia boleh senang dan itu tidak membahayakan amalannya, sebagaimana telah dijelaskan langsung oleh Nabi  dalam hadits:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ »

Dari Abu Dzar ia meriwayatkan bahwa Nabi  ditanya tentang orang yang berbuat kebaikan, lalu orang-orang memujinya. Nabi menjawab: Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi mukmin." (HR. Muslim)

Ingin dipuji, justeru dicela

Orang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia sangatlah merugi. Sudah amalannya tidak diterima, pujian manusia belum tentu ia dapatkan. Bahkan kadang orang justeru mencelanya. Allah mungkin juga menghukumnya di dunia sebelum di akhirat. Hasan Al Bashri berkata: "Ada seseorang yang berkata : Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya. Maka tidaklah ia terlihat kecuali ia sedang shalat. Dia yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar. Ia melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata: 'lihatlah orang yang riya' ini. Dia pun menyadari hal ini dan berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata: 'semoga Allah merahmatinya'. Kemudian al-Hasan al-Bashri pun membaca QS. Maryam ayat 96
Sebaliknya, orang melakukan amalan dengan ikhlas karena Allah, barangkali dia juga mendapatkan keuntungan dunia sebelum akhirat, seperti dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, di mana Nabi  bersabda: "Tiga orang dari zaman dahulu pergi dan saat malam tiba mereka memasuki sebuah gua. Sebongkah batu menggelinding dari gunung dan menutup pintu gua. Mereka berkata (di antara mereka): Suingguh tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan amal saleh kalian. Salah satu di antara mereka berkata: Ya Allah, dulu saya punya bapak ibu yang sudah tua, dan saya tidak pernah mendahulukan seorangpun sebelum mereka untuk minum susu, baik keluarga maupun ternak saya. Suatu hari saya mencari kayu ke tempat yang jauh, sehingga saat pulang, mereka sudah tidur. Saya memerah susu dan mendapati keduanya tidur. Saya tidak ingin membangunkan mereka, dan tidak pula ingin mendahulukan yang lain minum. Sayapun menunggu keduanya bangun sampai terbit fajar, dan wadah susu tetap di tangan saya, padahal anak-anak menangis di kaki saya karena lapar. Ya Allah, jika saya telah melakukan hal itu karena semata mengharap pahala dariMu, maka bukakanlah batu yang menutup jalan kami. Batupun tergeser sedikit, tapi mereka belum bisa keluar. Orang yang kedua berdoa: Ya Allah, sungguh dulu ada sepupu wanita saya yang merupakan orang yang paling saya cintai. Saya telah merayunya, tapi ia menolak. Hingga suatu saat ia ditimpa masa paceklik, sehingga ia datang kepada saya. Saya memberinya 120 dirham dengan syarat ia mau melayani hasrat saya, dan ia setuju. Tapi ketika tak ada lagi yang bisa menghalangi saya dari 'perbuatan' itu, ia berkata: Takutlah Allah, dan jangan renggut keperawanan saya kecuali dengan pernikahan. Sayapun meninggalkannya, padahal tidak ada yang lebih saya cintai dari dia saat itu, dan saya tinggalkan juga emas yang telah saya berikan. Ya Allah, jika saya telah melakukan hal itu karena semata mengharap pahala dariMu, maka bukakanlah batu yang menutup jalan kami. Batupun tergeser sedikit lagi, tapi mereka belum bisa keluar. Sementara yang ketiga berjkata: Ya Allah, saya pernah mempekerjakan beberapa pekerja, dan telah memberi upah mereka semua, kecuali satu orang yang pergi meninggalkan haknya. Saya menginvestasikan upahnya, sehingga berkembang menjadi harta yang banyak. Beberap waktu kemudian, ia datang dan berkata: Wahai hamba Allah, berikan upahku! Sayapun menjawab: Semua unta, sapi, kambing dan budak yang kau lihat di depan matamu adalah hasil jerih payahmu. Ia berkata: Jangan mengejekku. Sayapun menjawab: Saya tidak mengejekmu. Akhirnya iapun membawa semua harta itu dan tidak sedikitpun ia tinggalkan. Ya Allah, jika saya telah melakukan hal itu karena semata mengharap pahala dariMu, maka bukakanlah batu yang menutup jalan kami. Batupun tergeser lagi, dan mereka berjalan keluar.

Orang yang ikhlas juga akan dicintai Allah dan para makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah ta'ala:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan memberikan rasa kasih sayang kepada mereka." (QS. Maryam : 96).
Menurut Ibnu Katsir, pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ).


Bagaimana meraih keikhlasan?

Untuk meraih keikhlasan dalam beramal, diperlukan taufik dari Allah Ta'ala dan usaha keras untuk meraihnya. Beberapa nasehat berikut insyaallah bisa membantu anda meraihnya:
1. Memohon kepada Allah agar diberikan keikhlasan dalam beramal, dan dimasukkan dalam golongan mukhlisin; karena keikhlasan adalah derajat tinggi yang merupakan anugerah Allah untuk orang-orang yang dipilihNya. Di antara doa Nabi  adalah :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ

"Ya Allah, Sungguh saya berlindung kepadaMu dari berbuat syirik dalam keadaan tahu, dan saya memohon ampunan dari apa yang tidak saya ketahui." (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dishahihkan al-Albani)
2. Mengatur hati untuk ikhlas sebelum beramal. Imam Ahmad ditanya: Bagaimana cara niat dalam beramal? Beliau menjawab: Mengatur diri jika ingin beramal, untuk tidak mengharap pujian manusia.
3. Berusaha menyembunyikan amal kebaikan kita dari pandangan manusia, sebagaimana kita menyembunyikan keburukan kita.
4. Mengingat besarnya kerugian orang yang riya' dan tidak ikhlas dalam beramal, dan bahwa amalannya tidak bermanfaat jika tidak diiringi keikhlasan.
5. Mempelajari dan mencontoh sirah generasi awal umat Islam dalam bab ini.
6. Saling mengingatkan tentang hal ini, terutama pada saat-saat kita atau saudara kita diuji dengan hal ini, atau saat kita melihat tanda-tanda riya' pada saudara kita.

Potret Keteladanan salaf dalam menjaga keikhlasan

Generasi awal umat Islam adalah teladan yang patut diteladani dalam bab niat, sebagaimana mereka juga teladan dalam bidang agama yang lain. Banyak keteladanan yang telah mereka berikan dalam menjaga keikhlasan, antara lain dengan menyembunyikan amalan dan menghindari syuhrah (popularitas).

Ar-Rabi' bin al-Khutsaim tidak pernah terlihat melakukan shalat sunat di masjid, kecuali hanya sekali. Ia melakukannya di rumah, karena itu lebih selamat dari hal-hal yang mengurangi keikhlasan. Nabi  bersabda:

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

"Maka shalatlah wahai sekalian manusia di rumah kalian; karena sebaik-baik shalat adalah shalat sesorang di rumahnya, kecuali shalat yang diwajibkan." (HR. al-Bukhari)

Kaum dhuafa di Madinah suatu ketika kehilangan sedekah rahasia yang sering mereka dapati di depan rumah mereka. Keheranan tersebut terjawab ketika mereka mengurus jenazah Ali bin al-Husain. Di punggungnya ada bekas hitam. Rupanya, ia memiliki kebiasaan menggendong roti yang ia tempatkan pada sebuah wadah, lalu membagikannya kepada kaum papa Madinah di malam hari, tanpa sepengetahuan mereka. Ia menukil sabda Nabi :

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِ

"Sungguh sedekah rahasia itu memadamkan murka Rabb." (HR. ath-Thabrani, dishahihkan al-Albani)

Abdullah bin al-Mubarak sering singgah di kota Raqqah. Seorang pemuda biasa melayani keperluannya dan mendengar hadits darinya. Suatu saat, ia tidak mendapati pemuda itu saat singgah. Ia mendapat kabar bahwa si pemuda dipenjara karena tidak bisa membayar utang yang ditanggungnya, sebanyak 10.000 dirham. Malam harinya Abdullah memanggil orang yang punya piutang, membayar utang itu dan minta kepadanya agar tidak memberitahu seorangpun. Abdullah segera meninggalkan Raqqah malam itu dan esoknya si pemuda dikeluarkan dari penjara.

Suatu ketika Abdullah bin Mas'ud –radhiyallahu 'anhu- berjalan, dan orang-orang berkerumun mengikutinya. Ia berkata: Apa kalian punya keperluan? "Tidak, kami cuma ingin berjalan bersamamu", jawab mereka. Ibnu Mas'udpun berkata: "Pergilah kalian, karena hal ini adalah kehinaan bagi yang mengikuti, dan godaan bagi yang diikuti."

Wallahu Ta'ala a'lam.


Doa Mohon Keikhlasan

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ
"Ya Allah, Sungguh saya berlindung kepadaMu dari berbuat syirik dalam keadaan tahu, dan saya memohon ampunan dari apa yang tidak saya ketahui."

Ikhlas, Kendaraan Menuju ke Rabbul ‘Alamin

Sewindu lebih saya menjadi pengurus masjid di tempat kediaman saya, masjid Al-Ihsan, Pondok Cabe. Hampir tiap waktu berjalan saya sering bertemu dengan dermawan yang memberikan zakat atau sumbangan untuk masjid. Sebagian ada yang menyebutkan jatidirinya, tapi cukup banyak pula saya menjumpai dermawan yang tak mau disebut namanya, tapi cukup diganti dengan sebutan hamba Allah saja. Kenapa hamba Allah ?Kenapa tidak menyebutkan nama saja? Bukankah itu lebih baik ditinjau dari segi pertanggung-jawaban? Saya coba mendebat. Mereka koekeuh dengan pendapatnya semula, tak mau disebut namanya, cukup sebut hamba Allah. Alasannya mereka menyumbang ikhlas, kalau disebut nama kuatir tidak ikhlas.. Kalau sudah begitu akhirnya saya menulis dalam kwitansi tanda terima sumbangan dari hamba Allah. Saya kira hal ini lazim kita jumpai dimana-mana. Mereka yang menyumbang atas nama Allah akan kita nilai lebih ikhlas daripada memakai namanya sendiri.


Betulkan pemahaman ikhlas seperti itu?. Saya punya pahit pengalaman mengenai makna ikhlas ini. Beberapa tahun lalu saya mengajar di sebuah universitas Islam mentereng di Jakarta ini. Saya mengajar sejarah parpol Islam di Indonesia, seminggu sekali, satu semester. Saya mengajar karena kecelakaan saja. Dosen utama universitas itu tiba tiba mendapat mendapat tugas belajar ke luar-negeri. Dosen itu mengusulkan saya sebagai pengganti dan pimpinan universitas menyetujui. Saya bersedia, menyempatkan diri mengajar, disela-sela pekerjaan, selain karena saya berkawan baik dengan pimpinan universitas itu, juga berharap dapat tambahan rezeki, membantu keuangan keluarga, paling tidak membayar rekening listrik dan telepon yang suka naik tanpa permisi. Tapi saya kemudian kecewa lalu berhenti karena dibohongi. . Bayangkan universitas yang jauhnya dua jam dari rumah dengan biaya naik tol 15 ribu pulang pergi hanya menggaji saya tiga ratus ribu sekian sekian perbulannya, jauh dari kesepakatan semula. Alih alih membantu keuangan rumah tangga, saya hitung hitung saya malah nombok dalam jumlah lumayan. Ketika saya tanyakan ke universitas, pihak universitas menasehati saya berbakul-bakul kata kata ikhlas. Jadi, ikhlas berarti gratis?, kata saya agak meninggi waktu protes. Yang penting hidup ini ikhlas, agar dapat ridha Allah. Kalau tidak ikhlas, tidak dapat ridha Allah, hidup tidak selamat, kata pihak universitas bersemangat. Saya pikir saya mengajarnya ikhlas, tapi honor saya harus tetap dibayar sesuai kesepakatan. Saya yakin tak ada hubungan antara keihklasan seseorang dalam bekerja dengan imbalan yang diterima. Apakah orang yang kerjanya digaji ratusan lalu dikira ikhlas bekerja? . Karena tidak tercapai kata sepakat semester berikutnya saya berhenti mengajar. Tadinya saya sempat berpikir menuntut Universitas itu kepengadilan dengan tuduhan ‘salah memahami makna ikhlas’, tapi niat itu saya urungkan.

Saya mulai memahami ‘ ikhlas’ ketika dalam satu seminar, seorang mahasiswa berbicara berapi-api persis Harmoko sewaktu jadi pejabat, menuduh meraka yang mendapat honor dari imbalan mengajar ilmu agama sebagai penjual ayat ayat agama, sehingga yang bersangkutan kelak diancam hukuman pedih dari Tuhan. “Menjual ayat Tuhan hukumannya tak terampuni”, katanya lantang. Saya perhatikan peserta yang sebagian muballigh tiba tiba menjadi rikuh, terdiam seperti tertuduh, sementara peserta lain yang kebanyakan mahasiswa bersorak memberi dukungan. Siang itu sang mahasiswa itu pun muncul jadi pejuang keikhlasan. Sebagai moderator waktu itu saya tercenung, diam. Saya ingin berdebat tapi urung, karena fungsi saya cuma moderator, wasit. Tinggallah mereka yang mengajar mengaji, muballligh yang hadir dalam ruangan tiba tiba jadi tertuduh. Jadi, Ikhlas berarti tak boleh menerima uang kalau memberi ilmu agama?. Nampaknya itu jalan pikiran mahasiswa pejuang ikhlas itu. Saya catat nama mahasiswa itu. Suatu saat kelak bila ia sudah jadi muballigh, saya akan suruh dia khutbah dan mengajari orang mengaji sebulan penuh, dan dibagian akhir ketika dia minta honornya akan saya berikan honor dia; yaitu ikhlas. Jadi, apakah ikhlas itu? Seorang ustad yang memberikan ceramah dimana-mana, lalu berharap imbalan apakah lalu tidak ikhlas? Saya lalu menemukan hal yang tidak beres dalam pengertian kata ikhlas itu. Kata ikhlas telah disalahpahami sehingga merampas hak penyebar agama dan merugikan agama.
Ikhlas digambarkan sangat indah dalam doa iftitah, setiap kita mau sholat. Bahwa setiap amal perbuatan kita hanya dari, untuk dan kepunyaan Allah. Oleh sebab itu ikhlas merupakan bagian penting wujud nyata kepasrahan total kepada Tuhan sekaligus ia menjadi sumber perilaku yang bersangkutan dalam pergaulannya dengan sesama manusia. Dalam Islam dikatakan ikhlas tidaknya perbuatan seseorang hanya Tuhan dan hati nurani yang bersangkutan yang tahu. Jadi selain Allah, hanya hati nurani kita yang paling dalam yang bisa mengukur kadar keihlasan kita. Bila kita memberi bantuan pada orang miskin, karena sadar Allah memerintahkannya, maka kita beramal karena Allah. Bila kita menghentikan bantuan tersebut karena yang bersangkutan tidak tahu berterima kasih dan bahkan mennjelek-jelekkan kita pada banyak orang, maka kita tidak ikhlas. Sebab amal kita niatnya dipengaruhi reaksi orang lain pada kita. Bila kita ikhlas hanya karena Allah, maka apapun reaksi orang pada kita, kita tetap beramal karena kita beramal hanya karena Allah.
Kita menyumbang dalam jumlah besar, minta kwitansi, minta agar diketahui jamaah dan pengurus dengan tujuan mendidik umat agara bersikap transparan dalam laporaan keuangan, semua itu anda lakukan karena lillah, karena Allah memerintahkan begitu, itulah ikhlas. Tapi kita menyumbang, minta tak usah diumumkan, takut disangka tidak ikhlas, boleh jadi kita memang tidak ikhlas.
Dalam hal ini saya kira kita dapat belajar banyak dari kasus sengketa yang sering terjadi di dunia pesantren dan sekolah agama. Seorang dermawan menyumbang pada pesantren atau lembaga pendidikan agama biasanya tanpa perlu meminta tanda terima apalagi laporan keuangan lembaga itu. Prinsipnya adalah saling percaya, sama sama ikhlas. Sumbangan itu kepada lalu dikelola oleh sang kiyahi untuk pengembangan lembaganya. Masalah sering muncul ketika sang kiyahi meninggal, sebab umumnya lembaga itu diklaim lalu seolah menjadi milik pribadi, lalu oleh anak-anaknya dibagi untuk mereka, bahkan kadang bertikai sampai ke pengadilan. Kalau begitu untuk siapa kita menyumbang?. Oleh karena itu ada baiknya bila kita menyumbang kita minta tanda terima, minta laporan pertanggung-jawaban, bukan karena tidak percaya, melainkan agar pihak yang diberi amanah memanfaatkan itu untuk kepentingan umat, dan terhindar dari fitnah buruk yang bisa saja terjadi. Hal itu semua tak ada hubungannya dengan ikhlas atau tidaknya seseorang. Atas dasar itu sejak lama saya jika menyumbang selalu minta kwitansi tanda terima, bahkan kalau perlu dilaporkan penggunaannya, bukan karena ingin dipuji tapi karena Allah memang mengajarkan begitu…….

بسم الله العظيم

Ketahuilah, ujian dan cobaan di dunia merupakan sebuah keharusan, siapa pun tidak bisa terlepas darinya. Bahkan, itulah warna-warni kehidupan. Kesabaran dalam menghadapi ujian dan cobaan merupakan tanda kebenaran dan kejujuran iman seseorang kepada Allah SWT

Sesungguhnya ujian dan cobaan yang datang bertubi-tubi menerpa hidup manusia merupakan satu ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Azza wa Jalla. Tidak satu pun diantara kita yang mampu menghalau ketentuan tersebut.

Keimanan, keyakinan, tawakkal dan kesabaran yang kokoh amatlah sangat kita butuhkan dalam menghadapi badai cobaan yang menerpa. Sehingga tidak menjadikan diri kita berburuk sangka kepada Allah SWT terhadap segla Ketentuan-Nya.

Oleh karena itu, dalam keadaan apapun, kita sebagai hamba yang beriman kepada Allah SWT harus senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Dan haruslah diyakini bahwa tidaklah Allah menurunkan berbagai musibah melainkan sebagai ujian atas keimanan yang kita miliki. Allah sebagaimana tertulisa dalam firman-Nya : “Apakah kalian mengira bahwa kalian akan masuk ke dalam surga, padahal belum datang kepada kalian (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kalian? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam goncangan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang bersamanya : Bilakah datang pertolongan Allah? Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah amatlah dekat.” (QS. Al Baqarah : 214)

Kesabaran merupakan perkara yang amat dicintai oleh Allah dan sangat dibutuhkan seorang muslim dalam menghadapi ujian atau cobaan yang dialaminya. Sebagaimana dalam firman-Nya : “…Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Al Imran : 146)

Macam-Macam Kesabaran

Ibnul Qoyyim mengatakan dalam Madarijus Salikin : “Sabar adalah menahan jiwa dari keluh kesah dan marah, menahan lisan dari mengeluh serta menahan anggota badan dari berbuat tasywisy (tidak lurus). Sabar ada tiga macam, yaitu sabar dalam berbuat ketaatan kepada Allah, sabar dari maksiat, dan sabar dari cobaan Allah.”

Oleh karena itu sabar dibagi menjadi tiga tingkatan :

1. Sabar dari meninggalkan kemaksiatan karena takut ancaman Allah, Kita harus selalu berada dalam keimanan dan meninggalkan perkara yang diharamkan.
Yang lebih baik lagi adalah, sabar dari meninggalkan kemaksiatan karena malu kepada Allah. Apabila kita mampu muraqabah (meyakini dan merasakan Allah sedang melihat dan mengawasi kita) maka sudah seharusnya kita malu melakukan maksiat, karena kita menyadari bahwa Allah SWT selalu melihat apa yang kita kerjakan. Sebagaimana tertulis dalam firman-Nya, di surah Al Hadid ayat 4 ” ........ Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”

2. Tingkatan sabar yang kedua adalah sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah, dengan terus-menerus melaksanakannya, memelihara keikhlasan dalam mengerjakannya dan memperbaikinya. Dalam menjalankan ketaatan, tujuannya hanya agar amal ibadah yang dilakukan diterima Allah, tujuannya semata-mata ikhlas karena Allah SWT.

Ada Beberapa Hal Yang Akan Menuntun Seorang Hamba Untuk Bisa Sabar Dalam Menghadapi Ujian Dan Cobaan, Sebagai Berikut :

1. Sebaiknya kita merenungkan dosa-dosa yang telah kita lakukan. Dan Allah menimpakan ujian atau musibah-musibah tersebut mungkin disebabkan dosa-dosa kita . Sebagaimana firman Allah SWT : “Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Asy Syuro : 30).

Apabila seorang hamba menyadari bahwa musibah-musibah yang menimpa disebabkan oleh dosa-dosanya. Maka dia akan segera bertaubat dan meminta ampun kepada Allah dari dosa-dosa yang telah dilakukannya

Dan Nabi Muhammad saw bersabda: “Tak seorang muslim pun yang ditimpa gangguan semisal tusukan duri atau yang lebih berat daripadanya, melainkan dengan ujian itu Allah menghapuskan perbuatan buruknya serta menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana pohon kayu yang menggugurkan daun-daunnya.” (HR Bukhari dan Muslim). Jadi ujian dan cobaan, bisa sebagai penggugur dosa-dosa kita dan juga untuk mengangkat kita ke derajat keimanan yang lebih tinggi.


2..
Kita harus menyakini dengan seyakin-yakinnya, bahwa Allah selalu ada bersama kita. Dan Allah telah memberikan jaminan untuk kita dalam surah Al Baqarah ayat 286, bahwa ” Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya. Dan Allah cinta dan ridha kepada orang yang sabar. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya sbb: dan sabarlah sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS Al Anfal : 46) Dan Firman-Nya : “…Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.” (QS.Al Imran : 146)

Bersabarlah maka kita akan melihat betapa dekatnya kelapangan
Barangsiapa yang muraqabah (merasa diawasi) Allah dalam seluruh urusan, ia akan menjadi hamba Allah yang sabar dan berhasil melalui ujian apapun dalam hidupnya. Kesabaran yang didapatkan ini, berdasarkan pada petunjuk Allah dalam Al Quran, surah At Thur ayat 48 : Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri”

Dan ketahuilah, bahwa barangsiapa yang mengharapkan Allah, maka Allah akan ada dimana dia mengharap.


3. Kita harus mengetahui bahwa jika kita bersabar, maka akan mendatangkan ridha Allah, karena ridha Allah SWT, terdapat dalam kesabaran kita, terhadap segala ujian dan ketentuan takdir-Nya, yang kurang kita sukai.


Keutamaan Sabar

Sabar memiliki kedudukan tinggi yang mulia dalam agama Islam. Oleh karena itu, Al Imam Ibnul Qayyim mengatakan bahwa sabar setengah dari keimanan dan setengahnya lagi adalah syukur. Lebih jelasnya, akan diuraikan beberapa penyebutan ash-shabr dalam Al Qur’an dengan uraian yang ringkas sebagai berikut:

1. Sabar Merupakan Perintah Mulia Dari Rabb Yang Maha Mulia
Allah SWT berfirman : Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar,..” (QS. Al-Baqarah: 153)
dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman bersabarlah dan kuatkanlah kesabaranmu,..…” (QS.Ali Imran: 200)


Konteks (kandungan) dari kedua ayat diatas menerangkan bahwa sabar merupakan perintah dari Allah SWT. Sabar termasuk ibadah dari ibadah-ibadah yang Allah wajibkan kepada hamba-Nya. Terlebih lagi, Allah SWT kuatkan perintah sabar tersebut dalam ayat yang kedua. Barangsiapa yang memenuhi kewajiban itu, berarti ia telah menduduki derajat yang tinggi di sisi Allah SWT


2. Pujian Allah SWT Terhadap Orang-Orang Yang sabar
Allah SWT memuji mereka sebagai orang-orang yang benar dalam keimanannya. Sebagaimana firman-Nya: “….. dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang yang benar (imannya). Dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 177)


Dalam kitab Madarijus Salikin 2/152 Al Imam Ibnul Qayyim, mengutarakan bahwa ayat yang seperti ini banyak terdapat dalam Al Qur’an. Sehingga keberadaan sabar dalam menghadapi ujian dan cobaan dari Allah adalah benar-benar menjadi barometer keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

3. Mendapat Kecintaan Dari Allah SWT

Semua orang yang beriman berharap menjadi golongan orang-orang yang dicintai oleh Allah SWT. Dan Allah mengabarkan kepada hamba-Nya bahwa golongan yang mendapatkan kecintaan-Nya adalah orang-orang yang sabar terhadap ujian dan cobaan dari-Nya. Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya
“…....., dan Allah itu menyukai/mencintai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 146)

.Dan Allah selalu bersama orang-orang yang sabar, seperti tertulis dalam firman-Nya: “…..…dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal: 46)


Yang dimaksud dengan Allah bersama orang-orang yang sabar adalah penjagaan dan pertolongan Allah SWT selalu menyertai orang-orang yang sabar. Sebagaimana pula diterangkan dalam hadits berikut ini:

“Ketahuilah olehmu! Bahwasannya datangnya pertolongan itu bersama dengan kesabaran.” (HR. At Tirmidzi, dari shahabat Ibnu ‘Abbas ra)

4.. Shalawat, Rahmat dan Hidayah Bersama Orang Yang Sabar


Allah SWT senantiasa mencurahkan shalawat, rahmat dan hidayah-Nya kepada orang-orang yang sabar. Karena jika mereka ditimpa ujian dan cobaan dari Allah mereka kembalikan urusannya kepada Sang Pencipta, yang memilikinya.

Sifat mulia yang dimiliki orang yang sabar ini dikisahkan oleh Allah dalam firman-Nya disurah Al Baqarah, ayat 156-157 : orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji�uun (esungguhnya kami adalah milik Allah dan hanya kepada-Nya-lah kami kembal). Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Atas dasar ini, bila kita ditimpa musibah baik besar maupun kecil, dianjurkan mengucapkan kalimat ini, dan ini yang dinamakan dengan kalimat istirja’ (pernyataan kembali kepada Allah SWT). Kalimat istirja’ akan lebih sempurna lagi jika ditambah setelahnya dengan do’a yang diajarkan oleh baginda Nabi Muhammad saw sebagai berikut :“Ya Allah, berilah ganjaran atas musibah yang menimpaku dan gantilah musibah itu yang lebih baik bagiku.”

Barangsiapa yang membaca kalimat istirja’ dan berdo’a dengan do’a di atas niscaya Allah SWTakan menggantikan musibah yang menimpanya dengan sesuatu yang lebih baik. (Hadits riwayat Al Imam Muslim 3/918 dari shahabiyah Ummu Salamah.)

Suatu ketika Ummu Salamah ditinggal suaminya Abu Salamah yang mati syahid di medan perang (jihad). Kemudian beliau mengucapkan do’a ini, sehingga Allah SWT memenuhi janji-Nya dengan memberikan pendamping (jodoh) baginya dengan sebaik-baik pendamping yaitu Rasulullah saw. Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengingkari janji-Nya.

5.. Mendapatkan Ganjaran Yang Lebih Baik Dari Amalannya


Allah SWT memberikan ganjaran bagi orang yang sabar melebihi usaha atau amalan yang ia lakukan. Sebagaimana firman-Nya :

“……Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. “ (An Nahl: 126)


Dalam ayat lainnya, Allah SWT menjanjikan akan memberikan jaminan kepada orang yang sabar dengan ganjaran tanpa hisab (tanpa batas). Sebagaimana firman-Nya : Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu." Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas
. (Az Zumar: 10)

6.. Mendapat Ampunan Dari Allah SWT

Selain Allah memberikan ganjaran yang lebih baik dari amalannya kepada orang yang sabar, Allah juga memberikan ampunan kepada mereka. Sebagaimana tertulis dalam firman-Nya : ”kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana), dan mengerjakan amal-amal saleh; mereka itu beroleh ampunan dan pahala yang besar”. (Hud: 11)

Dari �Aisyah, beliau berkata: “Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seorang muslim, melainkan Allah SWT telah menghapus dengan musibah itu dosanya. Meskipun musibah itu adalah duri yang menusuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari no. 3405 dan Muslim 140-141/1062)

7.. Mendapat Martabat Tinggi Di Dalam Surga


Anugerah yang lebih besar bagi orang-orang yang sabar adalah berhak mendapatkan martabat yang tinggi dalam Surga. Allah SWT berfirman : “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya. (Al Furqaan: 75)

8.. Sabar Adalah Jalan Terbaik


Semua uraian di atas menunjukkan bahwa sabar ialah jalan yang terbaik bagi siapa saja yang menginginkan kebaikan dunia dan akhiratnya.


Dari shahabat Shuhaib bin Sinan, Rasulullah saw bersabda :
“Sungguh mengagumkan urusan orang mukmin, sungguh semua urusannya baik baginya, yang demikian itu tidaklah dimiliki seorang pun kecuali hanya orang yang beriman. Jika mendapat kebaikan (kemudian) ia bersyukur, maka itu merupakan kebaikan baginya, dan jika keburukan menimpanya (kemudian) ia bersabar, maka itu merupakan kebaikan baginya.” (HR. Muslim)

Setiap amalan akan diketahui pahalanya kecuali kesabaran, karena pahala kesabaran itu, tanpa batas. Sebagaimana firman Allah SWT “Sesungguhnya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan ganjaran/pahala mereka tanpa batas.” (Az Zumar: 10)

Coba kita renungkan, bukankah kita selalu mampu untuk bisa sabar dalam menerima ujian-Nya yang berupa nikmat hidup? Mkaa sudah seharusnya kita juga harus bisa sabar dalam menerima unjian-Nya yang berupa kehilangan nikmat hidup, istilahnya, jangan mau terima yang enak-enak saja.

Jadi kita sebaiknya harus bisa bersabar dalam menghadapi segala macam ujian dalam hidup kita, terutama setelah kita mengetahui keutamaan besar yang Allah SWT janjikan bagi hamba-Nya yang bersabar.

Menggali Makna Sabar

Kesabaran tidak selalu harus dimaknai sebagai sikap “pasif”, pasrah terhadap keadaan, menerima apa adanya, yang selanjutnya bahkan sering dipersepsi – secara tidak tepat — sebagai sikap “qana’ah”. Lebih bermakna dari itu semua, kesabaran sudah semestinya dipandang sebagai sikap proaktif untuk mengubah keadaan “menjadi serba lebih baik”. Itulah yang saya pahami, sebagai pesan moral dari tulisan (Mas) Zaim Uchrowi yang berjudul: “Masyarakat Yang Sabar” dalam rubrik Resonansi, Republika, Jumat, 23 September 2005.
SABAR, kata para ahli bahasa, secara harfiah berarti “bertahan” atau “menahan diri”. Sebuah sifat mulia yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, dalam status dan peran apa pun. Bentuk konkret sabar yang dilembagakan dalam (agama) Islam antara lain adalah kesadaran untuk ber-imsak (menahan diri), yang diformalkan ajarannya dalam kewajiban berpuasa. Ketika berpuasa, seorang Muslim harus “menahan diri” dari perbuatan-perbuatan yang tidak perlu, apalagi perbuatan yang dilarang, dan untuk selanjutnya — bersikap proaktif untuk beramal shalih, meskipun harus bergulat dengan realitas serba tidak ideal, di antaranya: kondisi “lapar dan dahaga”.
Sayang! Pemahaman sebagian orang terhadap ajaran untuk “menahan diri” ini seringkali terjebak pada pemaknaan eksoterik (lahiriah), menahan diri dari makan- minum, dan utamanya “jima’” (hubungan badan suami istri).
Padahal, ketika kita mau sedikit bergeser untuk memaknainya dalam dimensi esoterik (batiniah)-nya, maka kita akan menemukan makna terdalam dari terma imsak ini, menahan diri dari perbuatan-perbuatan yang merugikan diri sendiri dan (juga) merugikan orang lain kurang begitu dipahami. Tidak hanya itu, di ketika kita lupa untuk memahami maksud Hadits-Hadits Nabi saw tentang makna puasa, maka makna esensial imsak pun seringkali terlupakan. Imsak setiap Muslim yang telah berpuasa, belum – secara jelas — memercik dalam kehidupan riil dalam bangunan kehidupan intrapersonal, interpersonal dan sosial. Tegasnya: belum menjadi keshalihan individual dan kolektif.
Dari realitas inilah kita bisa memahami intisari nasihat Nabi saw dalam salah satu sabda beliau: kam min sha‘imin laisa lahu min shiyamihi illa al-ju’u wa al-‘athasyu, betapa banyak orang yang sudah (merasa) berpuasa, namun tidak pernah sekalipun mendapatkan makna dan pahala puasanya kecuali rasa) lapar dan dahaga.
Kini saatnya kita maknai sabar dalam pengertian imsak. Sabar – dalam pengertian imsak – minimal bisa kita maknai dengan 3 (tiga) pengertian: (1) sabar di saat kita mengerjakan perintah Allah (kebajikan), (2) sabar di saat kita meninggalkan larangan Allah (kemunkaran), dan (3) sabar dalam menerima terhadap takdir; baik yang berupa musibah (sebagai peringatan, ujian maupun nikmat terselubung dari Allah).
Pertama, kita harus bersabar untuk membiasakan sesuatu yang baik dan benar. Meskipun “yang baik dan benar” itu tidak selamanya dianggap wajar oleh semua orang. Bahkan – konon kabarnya – orang yang selalu membiasakan yang baik dan benar harus rela menjadi seseorang dan sekelompok orang yang terpinggirkan, hanya karena menyempal dari kebiasaaan mayoritas.
Dia bersama dengan kelompoknya harus bersedia menjadi ghurabâ’, sekelompok manusia yang – kata Nabi saw – selalu melakukan ishlah (perbaikan diri dan komunitasnya) untuk kepentingan kemanusiaan-universal, di ketika mayoritas (manusia) sedang menikmati sistem dan budaya korup.
Rasa haus dan lapar – sebagai media untuk memahami realitas sosial-kemanusian – dalam berpuasa bagi setiap muslim sudah seharusnya menjadi tindakan yang proaktif yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah, — di samping menjadikan dirinya semakin dekat kepada Allah, juga benar-benar berimplikasi pada lahirnya tindakan kepedulian-sosial untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial-kemanusiaan yang tidak pernah sepi (selalu) berada di hadapannya. Di sinilah doktrin amar ma’ruf menemukan implementasinya.
Kedua, kita harus bersabar untuk tidak melakukan kemunkaran. Tindakan proaktifnya adalah: melawan segala tindakan yang merugikan diri dan semua orang. Seorang Muslim yang memiliki sikap sabar, tidak akan pernah berputus asa untuk melaksanakan misi kerahmatan Islam, menuju visi yang sama: menggapai rahmat Allah (dalam pengertian yang lebih substantif).
Seperti pesan-moral Nabi saw: “tidak pernah ada kata putus asa bagi setiap Muslim untuk menggapai rahmat Allah”. Setiap Muslim – sudah seharusnya – memiliki kesabaran untuk mengupayakan wujudnya rahmat Allah di tengah-tengah umat manusia, dengan selalu peduli untuk ber”nahi munkar”. Dengan kata lain, kita – setiap muslim — wajib bersabar untuk terus melawan segala bentuk kemunkaran, oleh siapa pun kepada siapa pun.
Ketiga, kita harus bersabar terhadap takdir Tuhan. Sabar di sini adalah ridla terhadap semua kejadian yang menimpa diri kita, yang berarti imsak dari sikap mengeluh, apalagi menyesali setiap perolehan dari Allah, dengan sikap dan tindakan yang serba-positif. Dengan demikian sabar adalah melakukan refleksi-kritis terhadap berbagai hal yang menimpa diri kita.
Karena betapa pun Allah – dengan segala kebijakan dan keberpihakan-Nya terhadap diri kita — tidak akan pernah sekali pun bersikap dzalim terhadap hamba-Nya. Bahkan kita perlu berkontemplasi dengan selalu bertanya: peringatan, ujian dan nikmat-terselubung apa yang tengah diberikan oleh Allah terhadap diri kita, di saat musibah silih-berganti menyapa diri kita? Inikah pelajaran terbaik dari Allah pada diri kita, setelah kita terlalu banyak lupa untuk mengingat-Nya?

Seseorang yang memiliki kesabaran tidak pernah akan mengeluh karena panjangnya waktu yang dilalui untuk meraih kesuksesan. Dia juga tidak pernah bosan untuk menghadapi tantangan.

Kini kita semakin sadar, begitu tinggi nilai kesabaran kita. Sampai-sampai Al-Qur’an menyebutnya lebih dari 80 (delapan puluh) kali dalam berbagai ragamnya. Ketika menghadapi musibah, kita diperintahkan menempuh laku ash-shabru ’inda al-mushibah (sabar ketika ditimpa musibah); ketika menghadapi godaan setan yang selalu membujuk kita untuk bermaksiat, kita diperintahkan menempuh laku ash-shabru ‘an al-ma’shiyah (sabar untuk tidak berbuat maksiat), dan kita pun diperintahkan untuk menempuh laku ash-shabru ‘alaa ath-tha’ah (sabar untuk berbuat baik). Semuanya ternyata bernilai positif, meskipun ketiga ragam kesabaran itu – tentu saja — bukan sesuatu yang mudah untuk kita jalani.
Konon kabarnya, seseorang yang tengah menghadapi rintangan yang berat, terkadang hati kecilnya membisikkan agar ia berhenti (berputus asa), meski yang diharapkannya belum tercapai. Dorongan hati kecil itu selanjutnya menjadi keinginan jiwa. Dan jika keinginan itu ditahan, ditekan, dan tidak diikuti, maka tindakan ini merupakan pengejawantahan dari hakikat sabar yang mendorongnya agar tetap melanjutkan usahanya walaupun harus menghadapi berbagai rintangan yang berat. Dia akan terus berproses untuk menjadi apa dan siapa pun yang dicita-citakannya dalam suka dan duka, dengan cara apa pun yang terus ia cari dalam bentuk kreativitas untuk selalu berbuat sesuatu, kapan dan di mana pun.
Betapa pun sulitnya kita menanamkan sikap sabar ke dalam diri kita, kesabaran – yang merupakan energi dan kekuatan diri kita — harus selalu melekat pada setiap pribadi Muslim. Dengan kesabaran yang tinggi, seseorang pasti akan selalu tabah dan ulet dalam mengarungi bahtera kehidupan yang sangat fluktuatif, kadangkala mendaki, menurun, terjal, datar, dan kadangkala pula sangat licin. Kadangkala di atas, kadangkala di bawah, kadangkala dalam posisi dan jabatan yang tinggi, dan kadangkala tidak memiliki jabatan sama sekali. Sabar pada hakikatnya bukanlah sesuatu yang harus ditunjukkan dengan keluhahan, penyerahan diri, dan bukan pula sikap pasif untuk tidak beraktivitas apa pun. Sabar harus menjadi instrumen untuk membangun ketangguhan dalam melakukan sesuatu yang serba-positif, ketika berhadapan dengan rintangan dan tantangan.
Justru, bagi setiap orang yang bisa bersabar, rintangan dan tantangan dijadikannya sebagai suatu peluang dan kesempatan untuk semakin dinamis dalam mempersembahkan yang terbaik dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan kita, setiap Muslim harus selalu berpikir untuk memecahkan masalah, mengambil keputusan dan melahirkan kreativitas dengan spirit kesabaran. Kesabaran untuk meraih sesuatu yang terbaik kadangkala membutuhkan waktu yang cukup panjang dan tidak cukup dengan satu kali cobaan, sehingga seseorang semakin terbukti dan teruji.
Seseorang yang memiliki kesabaran tidak pernah akan mengeluh karena panjangnya waktu yang dilalui untuk meraih kesuksesan. Dia juga tidak pernah bosan untuk menghadapi tantangan. Dan kita pun bisa berkesimpulan, bahwa kesabaran dalam tiga dimensinya harus selalu ada pada setiap Muslim.
Pertama, sabar dalam pengertian berkemauan dan berkemampuan menempuh laku imsâk ketika menghadapi godaan setan yang selalu membujuk untuk bermaksiat, dengan satu kesedian untuk mengatakan “tidak” terhadap setan, di ketika mereka membujuknya untuk mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.
Kedua, sabar dalam pengertian berkemauan dan berkemampuan menempuh laku imsak untuk berbuat baik dan benar, dengan satu kesediaan untuk mengatakan “ya” terhadap semua perintah Allah dan Rasul-Nya.
Ketiga, sabar dalam pengertian berkemauan dan berkemampuan menempuh laku imsak di ketika menghadapi musibah, dengan berkemauan dan berkemampuan untuk mengendalikan emosi, sehingga tidak sampai bersikap putus asa dalam menghadapi semua persoalan hidup, betapa pun beratnya, dengan satu kesediaan untuk mengatakan “inna lilla wa inna ilaihi raji’un” (semuanya milik Allah, dan pasti hanya akan kembali kepada-Nya).
Setelah kita pahami esensi sikap sabar yang kita miliki, kita pun bisa bertanya kepada diri kita: Kenapa harus pesimis? Dengan sikap sabar (yang proporsional), masa depan akan selalu kita retas dengan sikap optimis!l

ترك الفعل ، الإخلاص ومنذ تا الله علاء الله له من مشاكل إزالة

ترك الفعل ، الإخلاص ومنذ تا الله علاء الله له من مشاكل إزالة

عن أبي هريرة قال : قال رسول الله 'قرأت هذا الكلام وسلم قال :" إنه لا يتحدث عندما كان في سرير (طفل) باستثناء ثلاثة اشخاص ، عيسى بن مريم. وقال : 'أولا ، بين بني إسرائيل قد رجل خبراء العبادة. كان يسمى من قبل اسم. بنى مكانا للعبادة ، والعبادة في ذلك "

وقال : "الناس على بني إسرائيل المذكورة (التحمل) العبادة ، وذلك من البغي وقال لهم : إذا كنت سأعطيك الامتحان'. قالوا : 'ونحن نريد ذلك'. ثم جاءت امرأة وهبت نفسها له. لكن تجاهلها. ثم انه ارتكب جريمة الزنا مع عنزة راع تهدئة لإغلاق أماكن العبادة . وقالت انها بدأت اخيرا لتصبح حاملا وأنجبت طفلة. الناس يسألون ، 'من نتائج الأفعال؟' فأجاب : '. ذلك أنها جاءت وأرغم على يديه وقدميه. انهم توبيخ ، وضربوه وترسيتها على مكان للعبادة '. نسأل ، ماذا حدث لك؟ 'قالوا : لقد ارتكبت جريمة الزنا مع عاهرة ، حتى انها انجبت طفلة'. وتساءل 'أين هو؟' قالوا : هذا هو عليه! "وقال :' ثم وقفت وصليت وصليت.

بعد أن ذهب إلى الطفل و وقال : 'والله ، يا طفل ، الذي يكون والدك؟" وأجاب الطفل : أنا الحرفيين الصبي الراعي '. الناس على الفور هرعت الى وقبلها. وقالوا نحن سوف بناء مكان للعبادة الذهب '. أجاب : 'أنا لا تحتاج إلى مثل هذه ، لكنه نشأ من الأرض كما الأصلي'. وقال : 'عندما عقد الأم طفلها فجأة بواسطة فارس الذي ارتدى شارة ، حتى انه قال : يا الله ، وجعل ابني مثله'. وقال : 'وكان الطفل قد غادر الثدي الى والدتها ويواجه الدراج وهو يصلي ، يا الله ، أنت لا تجعلني مثله'. ثم عادت إلى والدتها الثدي وأمتص له '. عن أبي هريرة قال : 'وكما لو أنني رأيت رسول الله سلام وا محاكاة حركة الطفل ، ووضع إصبعها في فمها وأمتص له.

ثم والدتها خلال امرأة الرقيق الذي كان يتعرض للضرب. وقالت الأم : يا الله ، لا تجعل ابني مثله '. وقال : 'وكان الطفل قد ثم غادرت والدتها الثدي ، والتي تواجه المرأة الرقيق كما أن تصلي ، يا الله ، تجعلني مثله'. وقال : 'والمحادثة قد انتهت. وقالت الأم (لها) ، 'يكمن وراء تمرير فارس الذي ارتدى شارة وقلت : يا الله ، وجعل ابني مثله'. ثم أقول لكم ، 'اللهم لا تجعلني مثله'. ثم مررت امام هذه المرأة الرقيق ، ودائما أقول : اللهم لا تجعل ابني مثله '. ثم أقول لكم ، يا الله ، تجعلني مثله '. كان الطفل فقال : يا أمه ، الفارس الحقيقي ارتداء شارة هو فخور بين فخور. كانت المرأة الرقيق ، والناس يقولون : هو الزنا ، لكنه لم يرتكب الزنا. يسرق ، لكنه لم يسرق '. وكان العبيد قائلا : 'كفى بالله باعتبارها حامية'.

الإخلاص للحصول على الله

الإخلاص للحصول على الله

في العالم هي بمثابة اختبار لجميع المقيمين ، وخاصة الأشخاص الذين تم إنشاؤها مع العاطفة والفكر والقلب. الرجل الذي كان مقدرا من قبل الله سبحانه وتعالى لتكون مقرا للخلافة في الأرض ، وبالتأكيد لا يمكن لأحد أن يكون في عداد المفقودين الاختبارات هوك والمحاكمات الحياة التي منحها الله سبحانه وتعالى.

إخلاص ، هي كلمة بسيطة هي فقط التي تتألف من خمس رسائل فقط. إخلاص ، هي الكلمة التي تحتوي على معنى جميل جدا. هذه الكلمة من السهل جدا أن أقول ، ولكن من الصعب جدا أن تتحقق.

في التعاليم الإسلامية ، والكلمات الصادقة هي دائما مقترنة الله . وهذا هو ، على الفعل الجديد هو ان يكون الفعل صادقا حين لا تتوقع المكافأة شيئا ، ولكن فقط في العودة والله سبحانه وتعالى. هذا وقد قدمت من قبل الله في القرآن مما يعني :

واضاف "اذا كانوا حقا سعداء مع ما هو محدد من قبل الله ورسوله لهم ، وقال :' الله هو كاف بالنسبة لنا ، والله سوف يقدم لنا بعض من صاحب الفضل ، وبالتالي (أيضا) رسوله ، وبالتأكيد نحن أولئك الذين يرغبون في الله '، (من المؤكد أن الطريقة الأفضل بالنسبة لهم)." (سورة التوبة : 59)

الإخلاص ، وهو الصافي لجميع أشكال المصلحة الذاتية ، ونأمل لغير الله ، لمثل هذه النوايا والتوقعات. الأمل الوحيد أنه لا يمكن ويجب أن يكون في صدق هو الله وحده. هنا نقدم شيئا من هذه القصة التي توضح كم هو مهم للصراحة الإنسان.

عبد الله بن عمر قال : سمعت رسول الله قال : "كان هناك وقت قبل أن تقوم ، وثلاثة أشخاص يسيرون حتى اضطر الى قضاء الليل في كهف. عندما كانوا داخل الكهف ، وفجأة انخفض حجر كبير من أعلى التل ، وغطت على باب الكهف ، حتى أنهم لا يستطيعون الخروج. حتى قالوا : "في الحقيقة ، لا أحد يستطيع أي ينقذنا من هذا الخطر ، إلا التوسل إلى الله سبحانه وتعالى مع العمل الصالح كان علينا القيام به منذ وقت طويل". حتى قال أحدهم : "يا الله ، وكنت انتظر أن يكون الأب والأم ، وأنا لن يعطي لشرب الحليب قبل ثانية واحدة (الأب والأم) ، سواء في الأسرة أو عبدا ، ثم يوم واحد بعيدة قليلا بالنسبة لي رعي الماشية ، حتى لا تعود عليها ، ولكن بعد تلك الليلة ، والدي كان نائما . حتى أنني واصلت لحليب البقر بالنسبة لهم ، و لن تعطيه لأحد من قبل والد والدة. لذلك أنا ننتظرهم حتى الفجر ، ثم كل من الحصول على ما يصل ونشرب من الحليب أنني عليه. والليلة الماضية كان أيضا اطفالي يبكون طلب الحليب ، وعلى قدمي. يا الله ، وإذا ما كنت أفعله هو حقا لأنك نتوقع ، فنحن هذا ". لذلك جانبا ليتل روك ، وهم لا يستطيعون الخروج منه.

ثم ، نصلي من اجل ان كلا منهم : "يا الله ، يا حبيبي الأول ألزم عم الفتاة ، ثم حبي للحب ، وأنا دائما اللعوب وأراد أن تزنيان معه ، لكنه كان دائما يرفض أن يحدث في مرحلة ما أنه كان يعاني من الجوع وجاء في طلب المساعدة بالنسبة لي ، لذلك أعطيته المال مائة وعشرين دينارا ، ولكن مع وعد بأنه سوف يقدم نفسه لي في الليل. ثم عندما كنت في ما بين رجليه ، وفجأة قال : 'واتقوا الله لا تغلق إلا إذا كسر بطريقة قانونية'. حتى أحصل على ما يصل من ذلك لكنني لا تزال تريد ذلك ، وأنا دينار ماس التي اعطيت له. يا الله ، اذا فعلت ذلك ببساطة لمجرد ان لديك نتوقع ، فنحن هذه المحنة ". ثم نقل الحجر جانبا قليلا ، لكنها ما زالت لا تستطيع الخروج من الكهف.

حتى يصلي ثلث لهم : "يا الله ، يا أول بوصفه رب العمل ، والعمال والكثير من الموظفين ، ويوم واحد عندما دفع أجور العمال ، كان هناك فجأة واحد منهم الذين لا يستطيعون الانتظار ، حالما غادر الأجور وتابع العودة الى منزلها لم أفلح. لذلك أنا استخدامه لزيادة الأجور ومثمرة لهذه الممتلكات. ثم بعد فترة طويلة ، والعمال ، وجاء قال : يا عبد الله ، وتعطيني أي مكافأة كانت الأولى من نوعها! 'قلت :' كل ثروة أمامه بدلا من مكافأة في شكل الإبل والبقر والماعز والعبيد كانوا رعاة '. قال الرجل : يا عبد الله ، فإنك لا وهمية لي '. أجبتها : 'أنا لا يسخر لك. فأخذ جميع أن أسميها وليس لأحد منه '. يا الله ، اذا فعلت ذلك لمجرد انك نتوقع ، فنحن من هذا النطاق الضيق ". فجأة الحجر حتى الخروج سالمين. "(رواه البخاري ومسلم)

المصدر : كتاب أنا

من بت من القصة أعلاه ، يمكننا أن نتعلم الدرس الذي الصراحة أن نتوقع سوى الله دائما يتلقى ردا من الله سبحانه وتعالى. مع صدق تكمن في روح المسلم ، والله سبحانه وتعالى دائما تقديم تسهيلات أو وسيلة للخروج من كل الصعوبات ومتنوعة من المحاكمات التي حلت به.


Den izal family @ CyberCafe Adhizcombat © 2008. Tentang Linux Sponsored by: Linux Comment