BISMILLAH 3x, BARRAKALLAH 3x Shollu'alannabi

KELUARGA SAKINAH DALAM MASALAH


Kita saat ini ada di tengah arus deras pergeseran nilai sosial dalam masyarakat kita. Pergeseran nilai sosial tampak pada kecenderungan makin permisifnya keluarga-keluarga di masyarakat kita. Keluarga tidak lagi dilihat sebagai ikatan spiritual yang menjadi medium ibadah kepada Sang Pencipta. Kawin-cerai hanya dilihat sebatas proses formal sebagai kontrak sosial antara dua insan yang berbeda jenis. Perkawinan kehilangan makna sakral dimana Allah menjadi saksi atas ijab-kabul yang terjadi.

Ini bertolak belakang dengan adagium yang menyatakan keluarga adalah garda terdepan dalam membangun masa depan bangsa peradaban dunia. Dari rahim keluarga lahir berbagai gagasan perubahan dalam menata tatanan masyarakat yang lebih baik. Tidak ada satu bangsa pun yang maju dalam kondisi sosial keluarga yang kering spiritual, atau bahkan sama sekali sudah tidak lagi mengindahkan makna religiusitas dalam hidupnya. Karena itu, Al-Qur’an memuat ajaran tentang keluarga begitu komprehensif, mulai dari urusan komunikasi antar individu dalam keluarga hingga relasi sosial antar keluarga dalam masyarakat.

Banyak memang problema yang biasa dihadapi keluarga. Tidak sedikit keluarga yang menyerah atas “derita” yang sebetulnya diciptakannya sendiri. Di antaranya memilih perceraian sebagai penyelesaian. Kasus-kasus faktual tentang itu ada semua di masyarakat kita. Dan, masih banyak lagi kegelisahan yang melilit keluarga-keluarga di masyarakat kita. Namun, umumnya kegelisahan itu diakibatkan oleh menurunnya kemampuan mereka menemukan alternatif ketika menghadapi masalah yang tidak dikehendaki. Karena itu, menjadi penting bagi kita untuk mencari kunci yang bisa mengokohkan bangun keluarga kita dari hempasan arus zaman yang serba menggelisahkan. Dan, kata kunci itu adalah sakinah.

Makna Sakinah

Istilah “sakinah” digunakan Al-Qur’an untuk menggambarkan kenyamanan keluarga. Istilah ini memiliki akar kata yang sama dengan “sakanun” yang berarti tempat tinggal. Jadi, mudah dipahami memang jika istilah itu digunakan Al-Qur’an untuk menyebut tempat berlabuhnya setiap anggota keluarga dalam suasana yang nyaman dan tenang, sehingga menjadi lahan subur untuk tumbuhnya cinta kasih (mawaddah wa rahmah) di antara sesama anggotanya.

Di Al-Qur’an ada ayat yang memuat kata “sakinah”. Pertama, surah Al-Baqarah ayat 248.

وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِي

Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat.”

Tabut adalah peti tempat menyimpan Taurat yang membawa ketenangan bagi mereka. ayat di atas menyebut, di dalam peti tersebut terdapat ketenangan –yang dalam bahasa Al-Qur’an disebut sakinah. Jadi, menurut ayat itu sakinah adalah tempat yang tenang, nyaman, aman, kondusif bagi penyimpanan sesuatu, termasuk tempat tinggal yang tenang bagi manusia.

Kedua, al-sakinah disebut dalam surah Al-Fath ayat 4.

هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ الْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوا إِيمَانًا مَعَ إِيمَانِهِمْ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا ح

Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Di ayat itu, kata sakinah diterjemahkan sebagai ketenangan yang sengaja Allah turunkan ke dalam hati orang-orang mukmin. Ketenangan ini merupakan suasana psikologis yang melekat pada setiap individu yang mampu melakukannya. Ketenangan adalah suasana batin yang hanya bisa diciptakan sendiri. Tidak ada jaminan seseorang dapat menciptakan suasana tenang bagi orang lain.

Jadi, kata “sakinah” yang digunakan untuk menyifati kata “keluarga” merupakan tata nilai yang seharusnya menjadi kekuatan penggerak dalam membangun tatanan keluarga yang dapat memberikan kenyamanan dunia sekaligus memberikan jaminan keselamatan akhirat. Rumah tangga seharusnya menjadi tempat yang tenang bagi setiap anggota keluarga. Keluarga menjadi tempat kembali ke mana pun anggotanya pergi. Mereka merasa nyaman di dalamnya, dan penuh percaya diri ketika berinteraksi dengan keluarga yang lainnya dalam masyarakat.

Dengan cara pandang itu, kita bisa pastikan bahwa akar kasus-kasus yang banyak melilit kehidupan keluarga di masyarakat kita adalah karena rumah sudah tidak lagi nyaman untuk dijadikan tempat kembali. Suami tidak lagi menemukan suasana nyaman di dalam rumah, demikian pula istri. Bahkan, anak-anak sekarang lebih mudah menemukan suasana nyaman di luar rumah. Maka, sakinah menjadi hajat kita semua. Sebab, sakinah adalah konsep keluarga yang dapat memberikan kenyamanan psikologis –meski kadang secara fisik tampak jauh di bawah standar nyaman.

Membangun Kenyamanan Keluarga

Kenyamanan dalam keluarga hanya dapat dibangun secara bersama-sama. Tidak bisa bertepuk sebelah tangan. Melalui proses panjang, setiap anggota keluarga saling menemukan kekurangan dan kelebihan masing-masing. Penemuan itulah yang harus menjadi ruang untuk saling mencari keseimbangan. Makanya, keluarga sekolah yang tiada batas waktu. Di sama terjadi proses pembelajaran secara terus menerus untuk menemukan formula yang lebih tepat bagi kedua belah pihak, baik suami-istri, maupun anak-orangtua.

Proses belajar itu akan mengungkap berbagai misteri keluarga. Lebih-lebih ketika kita akan belajar tentang baik-buruk kehidupan keluarga dan rumah tangga. Tidak banyak buku yang memberi solusi jitu atas problema keluarga. Sebab, ilmu membina keluarga lebih banyak diperoleh dari pengalaman. Maka tak heran jika keluarga sering diilustrasikan sebagai perahu yang berlayar melawan badai samudra. Kita dapat belajar dari pengalaman siapa pun. Pengalaman pribadi untuk tidak mengulangi kegagalan, atau juga pengalaman orang lain selama tidak merugikan pelaku pengalaman itu.

Masalah demi masalah yang dilalui dalam perjalanan sejak pertama kali menikah adalah pelajaran berharga. Kita dapat belajar dari pengalaman orang tentang memilih pasangan ideal, menelusuri kewajiban-kewajiban yang mengikat suami-istri, atau tentang penyelesaian masalah yang biasa dihadapi keluarga. Semuanya sulit kita dapat dari buku. Hanya kita temukan pada buku kehidupan. Bagaimana kita dapat memahami istri yang gemar buka rahasia, atau menghadapi suami yang berkemampuan seksual tidak biasa. Dan masih banyak lagi masalah keluarga yang seringkali sulit ditemukan jalan penyelesaiannya. Jadi, memang tepat jika rumah tangga itu diibaratkan perahu, sebab tak henti-hentinya menghadapi badai di tengah samudra luas kehidupan.

Rumah tangga juga dua sisi dari keping uang yang sama: bisa menjadi tambang derita yang menyengsarakan, sekaligus menjadi taman surga yang mencerahkan. Kedua sisi itu rapat berhimpitan satu sama lain. Sisi yang satu datang pada waktu tertentu, sedang sisi lainnya datang menyusul kemudian. Yang satu membawa petaka, yang lainnya mengajak tertawa. Tentu saja, siapa pun berharap rumah tangga yang dijalani adalah rumah tangga yang memancarkan pantulan cinta kasih dari setiap sudutnya. Rumah tangga yang benar-benar menghadirkan atmosfir surga: keindahan, kedamaian, dan keagungan. Ini adalah rumah tangga dengan seorang nakhoda yang pandai menyiasati perubahan.

Rumah menjadi panggung yang menyenangkan untuk sebuah pentas cinta kasih yang diperankan oleh setiap penghuninya. Rumah juga menjadi tempat sentral kembalinya setiap anggota keluarga setelah melalui pengembaraan panjang di tempat mengadu nasibnya masing-masing. Hanya ada satu tempat kembali, baik bagi anak, ibu, maupun bapak, yaitu rumah yang mereka rasakan sebagai surga. Bayangkan, setiap hari jatuh cinta. Anak selalu merindukan orang tua, demikian pula sebaliknya. Betapa indahnya taman rumah tangga itu. Sebab, yang ada hanya cinta dan kebaikan. Kebaikan inilah yang sejatinya menjadi pakaian sehari-hari keluarga. Dengan pakaian ini pula rumah tangga akan melaju menempuh badai sebesar apapun. Betapa indahnya kehidupan ketika ia hanya berwajah kebaikan. Betapa bahagianya keluarga ketika ia hanya berwajah kebahagiaan.

Tetapi, kehidupan rumah tangga acapkali menghadirkan hal yang sebaliknya. Bukan kebaikan yang datang berkunjung, melainkan malapetaka yang kerap merundung. Suami menjadi bahan gunjingan istri, demikian pula sebaliknya. Anak tidak lagi merindukan orang tua, dan orang tua pun tidak lagi peduli akan masa depan anaknya. Bila sudah demikian halnya, bukan surga lagi yang datang, melainkan neraka yang siap untuk membakar. Benar, orang tua tidak punya hak membesarkan jiwa anak-anaknya, dan mereka hanya boleh membesarkan raganya. Tapi raga adalah cermin keharmonisan komunikasi yang akan berpengaruh pada masa depan jiwa dan kepribadian mereka.

Lunturnya Semangat Sakinah

Membangun sakinah dalam keluarga, memang tidak mudah. Ia merupakan bentangan proses yang sering menemui badai. Untuk menemukan formulanya pun bukan hal yang sederhana. Kasus-kasus keluarga yang terjadi di sekitar kita dapat menjadi pelajaran penting dan menjadi motif bagi kita untuk berusaha keras mewujudkan indahnya keluarga sakinah di rumah kita.

Ketika seseorang tersedu mengeluhkan sepenggal kalimat, “Suami saya akhir-akhir ini jarang pulang”, tidak sulit kita cerna maksud utama kalimatnya. Sebab, kita menemukan banyak kasus yang hampir sama, atau bahkan persis sama, dengan kasus yang menimpa wanita pengungkap penggalan kalimat tadi.

Penggalan kalimat di atas bukan satu-satunya masalah yang banyak dikeluhkan istri. Masih banyak. Tapi kalau ditelusuri akar masalahnya sama: “tidak tahan menghadapi godaan”. Godaan itu bisa datang kepada suami, bisa juga menggedor jagat batin istri. Karena godaan itu pula, siapa pun bisa membuat seribu satu alasan. Ada yang mengatakannya sudah tidak harmonis, tidak bisa saling memahami, ingin mendapat keturunan, atau tidak pernah cinta.

Payahnya, semakin hari godaan akibat pergeseran nilai sosial semakin menggelombang dan menghantam. Sementara, ketahanan keluarga semakin rapuh karena ketidakpastian pegangan. Maka, kita dapati kasus-kasus di mana seorang ibu kehilangan kepercayaan anak dan suaminya. Seorang bapak yang tidak lagi berwibawa di hadapan anak dan istrinya. Anak yang lebih erat dengan ikatan komunitas sebayanya. Bapak berebut otoritas dalam keluarga dengan istrinya, serta istri yang tidak berhenti memperjuangkan hak kesetaraan di hadapan suami. Semua punya argumentasi untuk membenarkan posisinya. Semua tidak merasa ada yang salah dengan semua kenyataan yang semakin memprihatinkan itu.

Tapi benarkah perubahan zaman menjadi sebab utama terjadinya pergeseran nilai dalam rumah tangga? Lalu, mengapa keluarga kita tidak lagi sanggup bertahan dengan norma-norma dan jati diri keluarga kita yang asli? Bukankah orang tua-orang tua kita telah membuktikan bahwa norma-norma yang mereka anut telah berhasil mengantarkan mereka membentuk keluarga normal dan berbudaya, bahkan berhasil membentuk diri kita yang seperti sekarang ini? Lantas, kenapa kita harus larut dengan segala riuh-gelisah perubahan zaman yang kadang membingungkan?

Transformasi budaya memang tidak mudah, bahkan tidak mungkin, kita hindari. Arusnya deras masuk ke rumah kita lewat media informasi dan komunikasi. Kini, setiap sajian budaya yang kita konsumsi dari waktu ke waktu, diam-diam telah menjadi standar nilai masyarakat kita. Ukuran baik-buruk tidak lagi bersumber pada moralitas universal yang berlandaskan agama, tapi lebih banyak ditentukan oleh nilai-nilai artifisial yang dibentuk untuk tujuan pragmatis dan bahkan hedonis. Tanpa kita sadari, nilai-nilai itu kini telah membentuk perilaku sosial dan menjadi anutan keluarga dan masyarakat kita. Banyak problema keluarga yang muncul di sekitar kita umumnya menggambarkan kegelisahan yang diwarnai oleh semakin lunturnya nilai-nilai agama dan budaya masyarakat. Masyarakat kini seolah telah berubah menjadi “masyarakat baru” dengan wujud yang semakin kabur.

Gaya hidup remaja yang berujung pada fenomena MBA (married by accident) telah jadi model terbaru yang digemari banyak pasangan. Pernikahan yang dianjurkan Nabi menjadi jalan terakhir setelah menemukan jalan buntu. Sementara perceraian yang dibenci Nabi justru menjadi pilihan yang banyak ditempuh untuk menemukan solusi singkat. Kenyataan ini merupakan bagian kecil dari proses modernisasi kehidupan yang berlangsung tanpa kendali etika. Akibatnya, struktur fungsi yang sejatinya diperankan oleh masing-masing anggota keluarga tampak semakin kabur.

Seorang anak kehilangan pegangan. Ibu-bapaknya terlalu sibuk untuk sekadar menyapa anak-anaknya. Anak pun dewasa dengan harus menemukan jalan hidupnya sendiri. Mencari sendiri ke mana harus memperoleh pengetahuan, dan harus mendiskusikan sendiri siapa calon pendampingnya. Semuanya berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika sendi-sendi keluarga itu telah kehilangan daya perekatnya dan masing-masing telah menemukan jalan hidupnya yang berbeda-beda, maka bangunan “baiti jannati”, rumahku adalah surgaku, akan semakin menjauh dari kenyataan. Itu menjadi mimpi yang semakin sulit terwujud. Bahkan, menjadi mimpi yang tidak pernah terpikirkan. Yang ada hanyalah “neraka” yang tidak henti-hentinya membakar suasana rumah tangga.

Satu lagi yang sering menjadi akar bencana keluarga, yaitu anak. Dunia anak adalah dunia yang lebih banyak diwarnai oleh proses pencarian untuk menemukan apa-apa yang menurut perasaan dan pikirannya ideal. Dunia ideal sendiri, baginya, adalah dunia yang ada di depan matanya, yang karenanya ia akan melakukan pengejaran atas dasar kehendak pribadi. Akan tetapi, di sisi lain, perkembangan psikologis yang sedang dilaluinya juga masih belum mampu memberikan alternatif secara matang terutama berkaitan dengan standar nilai yang dikehendakinya. Karena itu, selama proses yang dilaluinya, hampir selalu ditemukan berbagai perubahan sesuai dengan tuntutan lingkungan tempat di mana anak itu berkembang. Di sinilah proses bimbingan itu diperlukan, terutama dalam ikut menemukan apa yang sesungguhnya mereka butuhkan.

Guru di sekolah ataupun orang tua di rumah, secara tidak sadar, seringkali menjadi sosok yang begitu dominan dalam menentukan masa depan anak. Padahal, guru ataupun orang tua bukanlah segala-galanya bagi perkembangan dan masa depan anak. Proses pendidikan, dengan demikian, pada dasarnya merupakan proses bimbingan yang memerdekakan sekaligus mencerahkan. Proses seperti itu berlangsung alamiah dalam kehidupan yang bebas dari ikatan-ikatan yang justru tidak mendidik. Dalam kerangka seperti inilah, maka keluarga bisa berperan sebagai lembaga yang membimbing dan mencerahkan, atau juga sebaliknya. Jika tidak tepat memainkan peran yang sesungguhnya, bisa saja berfungsi sebagai penjara yang hanya mampu menanamkan disiplin semu. Anak-anak bisa menjadi manusia yang paling shalih di rumah, tetapi menjadi binatang liar ketika keluar dari dinding-dinding rumah dan terbebas dari pengawasan orang tua.

Dalam situasi seperti inilah, anak mulai mencari kesempatan untuk memenuhi kebuntuan komunikasi yang dirasakannya semakin kering dan terbatas. Sebab berkomunikasi untuk saling menyambungkan rasa antar anggota keluarga merupakan kebutuhan dasar yang menuntut untuk selalu dipenuhi. Konsekuensinya, ketidaktersediaan aspek ini dalam keluarga dapat berakibat pada munculnya ketidakseimbangan psikologi yang pada gilirannya dapat saja mengakibatkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan sosial seperti apa yang terjadi di masyarakat sekitar kita. Inilah di antara kerusakan akibat lunturnya atmosfir sakinah dalam keluarga.

BISMILLAH 3x, BARRAKALLAH 3x Shollu'alannabi

Membina Keluarga Sakinah

Kata Sakinah diambil dari kata yang tertera dalam surat Rum ayat 21 dapat disimpulkan bahwa keluaraga Sakinah adalah: "Sebuah keluarga yang dibangun dari hubungan suami isteri dari pernikahan yang Syar’i, untuk membina ketenangan, kebahagiaan serta saling memenuhi hak dan kewajian dalam kehidupan rumah tangga yang lahir dari perasaan cinta dan kasih sayang".

Tujuan keluarga sakinah adalah mencapai Ridha Allah yaitu memasuki surgaNya bukan nerakaNya. Oleh karenanya Allah selalu menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal shaleh untuk memasuki surgaNya dan tidak mendapat azabNya,

Bagaimana Mewujudkan Keluarga Sakinah?

Tips mewujudkan Keluarga Idaman berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits :

Pertama: Beriman Kepada Allah, dalam ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang dapat menjaga keluarganya dari ancaman neraka adalah mereka yang beriman kepada Allah swt

Kedua: Memilih pasangan yang baik, Surat Annisa, ayat: 1-2 dan hadits Rasulullah saw: "Pilihlah wanita yang menjadi tempat lahirnya keturunanmu, karena ia mempengaruhi baik atau buruknya keturunan".

Ketiga: Hidup dengan cinta dan kasih sayang, Surat Ar-Rum, ayat; 21, dan definisi Keluarga sakinah di atas. Juga sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku, dan berbuat baiklah kalian kepada keluarga kalian".

Keempat: Menafkahi keluarga dengan nafkah yang halal dan baik, Firman Allah:

Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah Telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.

Kelima: Memperhatikan pendidikan anak, Sabda Rasulullah saw: "Sesungguhnya Allah akan menanyakan kepada setiap orang tentang keturunannya yang dipeliharanya" .

Kiat-kiat mendidik anak dalam Islam:

· Memperhatikan anak sebelum lahir

Perhatian kepada anak dimulai pada masa sebelum kelahirannya, dengan memilih isteri yang shalelhah,

· Memperhatikan anak dalam kandungan

Islam memberikan perhatian besar kepada anak ketika masih janin dalam kandungan ibunya. Islam mensyariatkan kepada ibu hamil agar tidak berpuasa pada bulan Ramadhan untuk kepentingan janin yang dikandungnya.

Sang ibu hendaklah berdo'a untuk bayinya dan memohon kepada Allah agar dijadikan anak yang shaleh dan baik, bermanfaat bagi kedua orangtua dan seluruh kaum muslimin.

Memperhatikan anak setelah lahir

Tahni’ah:

Begitu melahirkan, sampaikan kabar gembira ini kepada keluarga dan sanak famili, sehingga semua akan bersuka cita.

b) Menyerukan adzan di telinga bayi

"Aku melihat Rasulullah memperdengarkan adzan pada telinga Hasan bin Ali ketika dilahirkan Fatimah" ( Hadits riwayat Abu Dawud dan At Tirmidzi.

c) Tahnik (Mengolesi langit-langit mulut)

Caranya, dengan menaruh sebagian korma yang sudah dikunyah lembut di ujung jari lain dimasukkan ke dalam mulut bayi dan digerakkan dengan lembut ke kanan dan ke kiri sampai merata. Jika tidak ada korma, maka diolesi dengan sesuatu yang manis (seperti madu atau gula).

Memberi nama

Termasuk hak seorang anak terhadap orangtua adalah memberi nama yang baik.

"Pakailah nama nabi-nabi, dan nama yang amat disukai Allah Ta'ala yaitu Abdullah dan Abdurrahman, sedang nama yang paling manis yaitu Harits dan Hammam, dan nama yang sangat jelek yaitu Harb dan Murrah" (HR.Abu Daud An Nasa'i)

d) Aqiqah

Yaitu kambing yang disembelih untuk bayi pada hari ketujuh dari kelahirannya. Dari Aisyah Radhiyallahu 'Anha,bahwa Rasulullah bersabda: "Untuk anak laki-laki dua ekor kambing yang sebanding, sedang untuk anak perempuan seekor kambing" (HR. Ahmad dan Turmudzi).

Mencukur rambut bayi dan bersedekah perak seberat timbangannya.

Khitan

Yaitu memotong kulup atau bagian kulit sekitar kepala zakar pada anak laki-laki, atau bagian kulit yang menonjol di atas pintu vagina pada anak perempuan Khitan wajib hukumnya bagi kaum pria,dan ulama berbeda pendapat bagi kaum wanita. WallahuA'lam

Memperhatikan anak pada usia 6 tahun pertama

Periode pertama dalam kehidupan anak (usia enam tahun pertama) merupakan periode yang amat kritis dan paling penting. Periode ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam dalam pembentukan pribadi anak karena periode ini, nanti akan tampak pengaruhnya pada kepribadiannya ketika menjadi dewasa

Aspek-aspek yang wajib diperhatikan oleh kedua orangtua dapat kami ringkaskan sebagai berikut:

· Memberikan kasih sayang yang diperlukan anak dari pihak kedua orangtua, terutama ibu. Ini perlu sekali, agar anak belajar mencintai orang lain. Jika anak tidak merasakan cintakasih ini,maka akan tumbuh mencintai dirinya sendiri saja dan membenci orang disekitamya.

· Hendaklah kedua orangtua menjadi teladan baik bagi anak.

· Jangan mengira karena anak masih kecil dan tidak mengerti apa yang tejadi di sekitarnya, sehingga kedua orangtua melakukan tindakan-tindakan yang salah di hadapannya.

· Anak dibiasakan dengan etiket umum yang mesti dilakukan dalam pergaulannya.

· Dibiasakan mengambil, memberi, makan dan minum dengan tangan kanan.

· Memperhatikan anak pada usia remaja

Pada masa ini pertumbuhan jasmani anak menjadi cepat, wawasan akalnya bertambah luas, emosinya menjadi kuat dan keras, serta naluri seksualnya pun mulai bangkit.

Anak laki dan perempuan merasa dirinya sudah dewasa karenanya ia menuntut supaya diperlakukan sebagai orang dewasa, bukan sebagai anak kecil lagi. Ajarkan kepada anak hukum-hukum akilbaligh dan ceritakan kisah-kisah yang dapat mengembangkan sikap takwa dan menjauhkan diri dari hal haram.

Berikan dorongan untuk ikut melaksanakan tugas-tugas rumah tangga, Berupaya mengawasi anak dan menyibukkan waktunya dengan kegiatan yang bermanfaat serta mancarikan teman yang baik.

Wallahu A’lam Bishawab




Den izal family @ CyberCafe Adhizcombat © 2008. Tentang Linux Sponsored by: Linux Comment