Ikhlas, Kendaraan Menuju ke Rabbul ‘Alamin

Sewindu lebih saya menjadi pengurus masjid di tempat kediaman saya, masjid Al-Ihsan, Pondok Cabe. Hampir tiap waktu berjalan saya sering bertemu dengan dermawan yang memberikan zakat atau sumbangan untuk masjid. Sebagian ada yang menyebutkan jatidirinya, tapi cukup banyak pula saya menjumpai dermawan yang tak mau disebut namanya, tapi cukup diganti dengan sebutan hamba Allah saja. Kenapa hamba Allah ?Kenapa tidak menyebutkan nama saja? Bukankah itu lebih baik ditinjau dari segi pertanggung-jawaban? Saya coba mendebat. Mereka koekeuh dengan pendapatnya semula, tak mau disebut namanya, cukup sebut hamba Allah. Alasannya mereka menyumbang ikhlas, kalau disebut nama kuatir tidak ikhlas.. Kalau sudah begitu akhirnya saya menulis dalam kwitansi tanda terima sumbangan dari hamba Allah. Saya kira hal ini lazim kita jumpai dimana-mana. Mereka yang menyumbang atas nama Allah akan kita nilai lebih ikhlas daripada memakai namanya sendiri.


Betulkan pemahaman ikhlas seperti itu?. Saya punya pahit pengalaman mengenai makna ikhlas ini. Beberapa tahun lalu saya mengajar di sebuah universitas Islam mentereng di Jakarta ini. Saya mengajar sejarah parpol Islam di Indonesia, seminggu sekali, satu semester. Saya mengajar karena kecelakaan saja. Dosen utama universitas itu tiba tiba mendapat mendapat tugas belajar ke luar-negeri. Dosen itu mengusulkan saya sebagai pengganti dan pimpinan universitas menyetujui. Saya bersedia, menyempatkan diri mengajar, disela-sela pekerjaan, selain karena saya berkawan baik dengan pimpinan universitas itu, juga berharap dapat tambahan rezeki, membantu keuangan keluarga, paling tidak membayar rekening listrik dan telepon yang suka naik tanpa permisi. Tapi saya kemudian kecewa lalu berhenti karena dibohongi. . Bayangkan universitas yang jauhnya dua jam dari rumah dengan biaya naik tol 15 ribu pulang pergi hanya menggaji saya tiga ratus ribu sekian sekian perbulannya, jauh dari kesepakatan semula. Alih alih membantu keuangan rumah tangga, saya hitung hitung saya malah nombok dalam jumlah lumayan. Ketika saya tanyakan ke universitas, pihak universitas menasehati saya berbakul-bakul kata kata ikhlas. Jadi, ikhlas berarti gratis?, kata saya agak meninggi waktu protes. Yang penting hidup ini ikhlas, agar dapat ridha Allah. Kalau tidak ikhlas, tidak dapat ridha Allah, hidup tidak selamat, kata pihak universitas bersemangat. Saya pikir saya mengajarnya ikhlas, tapi honor saya harus tetap dibayar sesuai kesepakatan. Saya yakin tak ada hubungan antara keihklasan seseorang dalam bekerja dengan imbalan yang diterima. Apakah orang yang kerjanya digaji ratusan lalu dikira ikhlas bekerja? . Karena tidak tercapai kata sepakat semester berikutnya saya berhenti mengajar. Tadinya saya sempat berpikir menuntut Universitas itu kepengadilan dengan tuduhan ‘salah memahami makna ikhlas’, tapi niat itu saya urungkan.

Saya mulai memahami ‘ ikhlas’ ketika dalam satu seminar, seorang mahasiswa berbicara berapi-api persis Harmoko sewaktu jadi pejabat, menuduh meraka yang mendapat honor dari imbalan mengajar ilmu agama sebagai penjual ayat ayat agama, sehingga yang bersangkutan kelak diancam hukuman pedih dari Tuhan. “Menjual ayat Tuhan hukumannya tak terampuni”, katanya lantang. Saya perhatikan peserta yang sebagian muballigh tiba tiba menjadi rikuh, terdiam seperti tertuduh, sementara peserta lain yang kebanyakan mahasiswa bersorak memberi dukungan. Siang itu sang mahasiswa itu pun muncul jadi pejuang keikhlasan. Sebagai moderator waktu itu saya tercenung, diam. Saya ingin berdebat tapi urung, karena fungsi saya cuma moderator, wasit. Tinggallah mereka yang mengajar mengaji, muballligh yang hadir dalam ruangan tiba tiba jadi tertuduh. Jadi, Ikhlas berarti tak boleh menerima uang kalau memberi ilmu agama?. Nampaknya itu jalan pikiran mahasiswa pejuang ikhlas itu. Saya catat nama mahasiswa itu. Suatu saat kelak bila ia sudah jadi muballigh, saya akan suruh dia khutbah dan mengajari orang mengaji sebulan penuh, dan dibagian akhir ketika dia minta honornya akan saya berikan honor dia; yaitu ikhlas. Jadi, apakah ikhlas itu? Seorang ustad yang memberikan ceramah dimana-mana, lalu berharap imbalan apakah lalu tidak ikhlas? Saya lalu menemukan hal yang tidak beres dalam pengertian kata ikhlas itu. Kata ikhlas telah disalahpahami sehingga merampas hak penyebar agama dan merugikan agama.
Ikhlas digambarkan sangat indah dalam doa iftitah, setiap kita mau sholat. Bahwa setiap amal perbuatan kita hanya dari, untuk dan kepunyaan Allah. Oleh sebab itu ikhlas merupakan bagian penting wujud nyata kepasrahan total kepada Tuhan sekaligus ia menjadi sumber perilaku yang bersangkutan dalam pergaulannya dengan sesama manusia. Dalam Islam dikatakan ikhlas tidaknya perbuatan seseorang hanya Tuhan dan hati nurani yang bersangkutan yang tahu. Jadi selain Allah, hanya hati nurani kita yang paling dalam yang bisa mengukur kadar keihlasan kita. Bila kita memberi bantuan pada orang miskin, karena sadar Allah memerintahkannya, maka kita beramal karena Allah. Bila kita menghentikan bantuan tersebut karena yang bersangkutan tidak tahu berterima kasih dan bahkan mennjelek-jelekkan kita pada banyak orang, maka kita tidak ikhlas. Sebab amal kita niatnya dipengaruhi reaksi orang lain pada kita. Bila kita ikhlas hanya karena Allah, maka apapun reaksi orang pada kita, kita tetap beramal karena kita beramal hanya karena Allah.
Kita menyumbang dalam jumlah besar, minta kwitansi, minta agar diketahui jamaah dan pengurus dengan tujuan mendidik umat agara bersikap transparan dalam laporaan keuangan, semua itu anda lakukan karena lillah, karena Allah memerintahkan begitu, itulah ikhlas. Tapi kita menyumbang, minta tak usah diumumkan, takut disangka tidak ikhlas, boleh jadi kita memang tidak ikhlas.
Dalam hal ini saya kira kita dapat belajar banyak dari kasus sengketa yang sering terjadi di dunia pesantren dan sekolah agama. Seorang dermawan menyumbang pada pesantren atau lembaga pendidikan agama biasanya tanpa perlu meminta tanda terima apalagi laporan keuangan lembaga itu. Prinsipnya adalah saling percaya, sama sama ikhlas. Sumbangan itu kepada lalu dikelola oleh sang kiyahi untuk pengembangan lembaganya. Masalah sering muncul ketika sang kiyahi meninggal, sebab umumnya lembaga itu diklaim lalu seolah menjadi milik pribadi, lalu oleh anak-anaknya dibagi untuk mereka, bahkan kadang bertikai sampai ke pengadilan. Kalau begitu untuk siapa kita menyumbang?. Oleh karena itu ada baiknya bila kita menyumbang kita minta tanda terima, minta laporan pertanggung-jawaban, bukan karena tidak percaya, melainkan agar pihak yang diberi amanah memanfaatkan itu untuk kepentingan umat, dan terhindar dari fitnah buruk yang bisa saja terjadi. Hal itu semua tak ada hubungannya dengan ikhlas atau tidaknya seseorang. Atas dasar itu sejak lama saya jika menyumbang selalu minta kwitansi tanda terima, bahkan kalau perlu dilaporkan penggunaannya, bukan karena ingin dipuji tapi karena Allah memang mengajarkan begitu…….


Den izal family @ CyberCafe Adhizcombat © 2008. Tentang Linux Sponsored by: Linux Comment