Memahami Makna Ikhlas Dalam Beramal

Muqaddimah tentang pentingnya niat

Barangkali sebagian dari kita memberikan perhatian yang biasa-biasa saja terhadap niat, atau malah tidak mempedulikannya. Padahal niat adalah perkara yang sangat penting, dan berpengaruh pada hitam putih amalan kita. Orang-orang saleh dari zaman dahulu memberikan perhatian besar kepadanya. Yahya bin Abi Katsir al-Yamami berkata: "Pelajarilah niat; karena sungguh ia lebih penting dari amalan." Abdullah bin al-Mubarak mengatakan: "Betapa banyak amalan kecil yang dibesarkan oleh niat, dan betapa banyak amalan agung yang menjadi kecil karena niat."


Tapi meskipun demikian, keikhlasan niat tidaklah mudah diraih, bahkan orang-orang salehpun kesulitan utnuk mendapatkannya. Sufyan ats-Tsauri berkata: 'Aku tidak pernah mengobati sesuatu yang lebh sulit dari niat saya; karena ia selalu berubah-ubah." Ucapan ini keluar dari lisan seorang Sufyan ats-Tsauri, yang merupakan tokoh teladan dari generasi tabi'in. Bagimana dengan kita?

Hendaknya kita menjadikan ucapan beliau ini sebagai pelecut untuk mawas diri dalam bab ini. Karenanya, wajib bagi setiap mukmin untuk mempelajari hal ini dan saling mengingatkan.

Keikhlasan niat, syarat dalam setiap amalan.

Keikhlasan diperintahkan Allah dalam firmanNya:
وَمَاأُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
"Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan agama kepada-Nya."

Syaikh Abdurrahman as-Sa'di berkata: "Maksudnya meniatkan semua amalan lahir maupun batin untuk mencari pahala dari Allah dan kedekatan kepadaNya." Inilah yang dimaksud dengan ikhlas dalam beramal.
Keikhlasan adalah syarat mutlak dalam setiap amalan kita. Ia adalah salah satu syarat diterimanya amalan kita di sisi Allah. Nabi  bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ هَاجَرَ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ


"Sesungguhnya amalan-amalan itu sah dengan niat, dan setiap orang hanya mendapat apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa hijrah karena Allah dan RasulNya, ia mendapat pahala hijrah karena Allah dan RasulNya. Dan barang siapa hijrah karena dunia yang ingin dia raih atau wanita yang ingin dia nikahi, maka itulah yang ia dapat dari hijrahnya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa amalan-amalan syar'i yang membutuhkan niat seperti shalat dan puasa tidak sah kecuali jika disertai niat yang ikhlas. Adapun amalan-amalan yang tidak membutuhkan niat, seperti makan dan berpakaian, ia akan memiliki nilai ibadah jika diiringi niat karena Allah. Amalan-amalan jenis kedua juga tidak dilewatkan oleh orang-orang saleh. Kebiasaan-kebiasaan yang merupakan kebutuhan biologispun mereka jadikan bernilai plus, dengan menjadikannya sarana menambah pahala. Sebagian mereka mengatakan: "Barangsiapa yang ingin sempurna amalannya, hendaknya ia memperbaiki niatnya, karena Allah memberikan pahala kepada hamba –jika baik niatnya- sampai pada sesuap nasi yang ia makan."

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa kadang ada dua orang yang secara lahir melakukan amalan yang sama, namun bisa jadi yang satu mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah, sementara yang lain hanya biasa-biasa saja, atau malah mendapat murka.

Bahaya riya' (beramal agar dilihat dan dipuji orang lain)

Niat berpengaruh pada hitam putih amalan seorang hamba. Niat yang salah bisa menjadikan amalan yang agung menjadi penyebab malapetaka, sebagaimana dijelaskan oleh Nabi  dalam sabda beliau:

« إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا، قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ، قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ، فَقَدْ قِيلَ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ ».

"Sesungguhnya orang yang pertama kali divonis hukuman pada hari kiamat adalah: (Pertama), orang yang gugur di medan perang. Ia didatangkan, lalu Allah mengingatkan ia akan nikmatNya, dan iapun ingat akan hal itu. Allah berkata: Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? Iapun menjawab: Aku telah berperang karenaMu, sehingga aku syahid. Allah berkata: Kamu bohong, tapi engkau berperang agar disebut pemberani, dan telah disebut demikian (di dunia). Lalu Allah perintahkan agar wajahnya ditarik sehingga dijatuhkan ke dalam neraka. (Kedua), orang yang mencari ilmu, mengajarkannya, serta membaca al-Quran. Ia didatangkan, lalu Allah mengingatkan ia akan nikmatNya, dan iapun ingat akan hal itu. Allah berkata: Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? Iapun menjawab: Aku telah mencari ilmu, mengajarkannya, dan membaca al-Quran karenaMu. Allah berkata: Kamu bohong, tapi kamu mencari ilmu agar dibilang ulama dan membaca al-Quran agar disebut qari', dan telah disebut demikian (di dunia). Lalu Allah perintahkan agar wajahnya ditarik sehingga dijatuhkan ke dalam neraka. (Ketiga), orang yang diberi keluasan rejeki dan semua jenis harta. Ia didatangkan dan Allah ingatkan ia akan nikmatNya, dan iapun ingat akan hal itu. Allah berkata: Apa yang kamu lakukan dengan nikmat itu? Iapun menjawab: Tidak ada jalan yang Engkau senang untuk diinfaqi, kecuali aku telah berinfaq di jalan itu karenaMu. Allah berkata: Kamu bohong, tapi engkau berinfaq agar disebut dermawan, dan telah disebut demikian (di dunia). Lalu Allah perintahkan agar wajahnya ditarik sehingga dijatuhkan ke dalam neraka." (HR. Muslim)
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika mendengar hadits ini, Mu'awiyah menangis sampai pingsan.

Ada beberapa pelajaran yang bisa dipetik dari hadits ini, antara lain:
1. Ketiga amalan ini adalah amalan yang agung, namun karena tidak diiringi niat yang benar, ia menjadikan pelakunya sebagai bahan bakar neraka yang pertama kali.
2. Orang-orang yang dihukum mengatakan bahwa ia telah ikhlas, tapi tidak demikian bagi Allah yang lebih tahu isi hatinya daripada ia sendiri.
3. Ketiga golongan di atas telah mendapat gelar-gelar terhormat di dunia, namun itu tidak bermanfaat sama sekali di akhirat, karena niat yang salah.

Samarnya riya' (beramal agar dilihat dan dipuji orang lain).

Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa ketiga orang tersebut mengatakan bahwa mereka beramal dengan ikhlas dan tidak riya', padahal tidak demikian di mata Allah. Ya, riya' memang samar dan tersembunyi, dan Rasulullah  pun menyebutnya demikian. Beliau bersabda:

« أَلاَ أُخْبِرُكُمْ بِمَا هُوَ أَخْوَفُ عَلَيْكُمْ عِنْدِى مِنَ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ». قَالَ: قُلْنَا بَلَى. فَقَالَ: « الشِّرْكُ الْخَفِىُّ أَنْ يَقُومَ الرَّجُلُ يُصَلِّى فَيُزَيِّنُ صَلاَتَهُ لِمَا يَرَى مِنْ نَظَرِ رَجُلٍ »

"Tidakkah saya beritahu kalian tentang sesuatu yang lebih saya takutkan atas kalian daripada al-Masih ad-Dajjal? (Abu Sa'id al-Khudri) berkata: Kamipun menjawab: Ya. Beliau berkata: Syirik yang tersembunyi, seseorang shalat, kemudian menghiasi shalatnya karena dilihat orang lain." (HR. Ibnu Majah, dihasankan al-Albani)

Dalam hadits lain Nabi  menyebutnya syirik kecil. Beliau berkata:

« إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الشِّرْكُ الأَصْغَرُ قَالَ « الرِّيَاءُ إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَقُولُ يَوْمَ تُجَازَى الْعِبَادُ بِأَعْمَالِهِمُ اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ بِأَعْمَالِكُمْ فِى الدُّنْيَا فَانْظُرُوا هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً ».

''Sungguh yang paling saya takutkan pada kalian adalah syirik kecil.' Orang-orang bertanya: Wahai Rasulullah, apa itu syirik kecil? Beliau menjawab: "Riya'. Allah akan berkata pada hari di mana para hamba mendapatkan balasan amalan mereka: Pergilah kepada orang-orang yang dulu kalian beramal agar dilihat mereka, dan lihatlah apa mereka memiliki ganjarannya!" (HR. Ahmad, dishahihkan al-Albani)

Macam-macam riya'.

Kadangkala keikhlasan dalam suatu amalan tercampuri oleh riya', bahkan terkadang keikhlasan menjadi sangat tipis atau malah sirna. Amalan yang tercampuri riya' ada beberapa macam:
1. Riya' murni, seperti shalat orang munafik. Ibnu Rajab menyebutkan bahwa riya' murni hampir tidak mungkin terjadi pada seorang mukmin dalam ibadah-ibadah yang tidak nampak seperti puasa, tapi mungkin terjadi dalam amalan-amalan yang nampak seperti sedekah dan haji. Tak diragukan lagi bahwa amalan seperti ini sia-sia dan pelakunya akan mendapat hukuman.
2. Keikhlasan yang bercampur riya'.
- Jika riya' mencampuri keikhlasan pada pokok amalan (dari awal), maka amalannya batal.

عَنْ أَبِى أُمَامَةَ الْبَاهِلِىِّ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ: أَرَأَيْتَ رَجُلاً غَزَا يَلْتَمِسُ الأَجْرَ وَالذِّكْرَ مَا لَهُ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ شَىْءَ لَهُ ». فَأَعَادَهَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يَقُولُ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لاَ شَىْءَ لَهُ ». ثُمَّ قَالَ « إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصًا وَابْتُغِىَ بِهِ وَجْهُهُ ».

Dari Abu Umamah al-Bahili ia berkata: Seseorang datang kepada Nabi  lalu berkata: Bagaimana orang yang berperang mencari pahala dan agar dikenang, apa yang ia dapat? Rasulullah menjawab: "Tidak dapat apa-apa". Beliau mengulanginya tiga kali, lalu berkata: "Sesungguhnya Allah tidak menerima amalan, kecuali yang ikhlas karenaNya dan untuk mencari pahalaNya." (HR. an-Nasai, dishahihkan al-Albani)

- Adapun jika pokok amalan ikhlas, kemudian tercampuri riya' ditengah-tengah amalan, maka perlu dilihat:
# jika begitu riya' menggoda pelaku amalan segera mengusirnya, hal itu tidak merusak amalan menurut kesepakatan para ulama.
# Sedangkan jika riya' itu berlangsung lama, maka hal itu juga tidak sampai menghancurkan amalan, tapi mengurangi pahala, tergantung kadar dan panjang pendek masa riya' itu berlangsung, sebagaimana dijelaskan al-Hasan al-Bashri, Imam Ahmad dan Ibnu Jarir ath-Thabari.

Senang dengan pujian setelah selesai beramal

Jika seorang mukmin beramal dengan ikhlas, kemudian orang-orang memuji amalannya, bolehkah ia senang? Lalu apakah hal itu berpengaruh buruk pada amalannya? Ya, ia boleh senang dan itu tidak membahayakan amalannya, sebagaimana telah dijelaskan langsung oleh Nabi  dalam hadits:

عَنْ أَبِى ذَرٍّ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ قَالَ « تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ »

Dari Abu Dzar ia meriwayatkan bahwa Nabi  ditanya tentang orang yang berbuat kebaikan, lalu orang-orang memujinya. Nabi menjawab: Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi mukmin." (HR. Muslim)

Ingin dipuji, justeru dicela

Orang yang melakukan amalan karena ingin dipuji oleh manusia sangatlah merugi. Sudah amalannya tidak diterima, pujian manusia belum tentu ia dapatkan. Bahkan kadang orang justeru mencelanya. Allah mungkin juga menghukumnya di dunia sebelum di akhirat. Hasan Al Bashri berkata: "Ada seseorang yang berkata : Demi Allah aku akan beribadah agar aku disebut-sebut karenanya. Maka tidaklah ia terlihat kecuali ia sedang shalat. Dia yang paling pertama masuk mesjid dan yang paling terakhir keluar. Ia melakukan hal tersebut sampai tujuh bulan lamanya. Namun, tidaklah ia melewati sekelompok orang kecuali mereka berkata: 'lihatlah orang yang riya' ini. Dia pun menyadari hal ini dan berkata: tidaklah aku disebut-sebut kecuali hanya dengan kejelekan, sungguh aku akan melakukan amalan hanya karena Allah. Dia pun tidak menambah amalan kecuali amalan yang dulu ia kerjakan. Setelah itu, apabila ia melewati sekelompok orang mereka berkata: 'semoga Allah merahmatinya'. Kemudian al-Hasan al-Bashri pun membaca QS. Maryam ayat 96
Sebaliknya, orang melakukan amalan dengan ikhlas karena Allah, barangkali dia juga mendapatkan keuntungan dunia sebelum akhirat, seperti dalam sebuah hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim, di mana Nabi  bersabda: "Tiga orang dari zaman dahulu pergi dan saat malam tiba mereka memasuki sebuah gua. Sebongkah batu menggelinding dari gunung dan menutup pintu gua. Mereka berkata (di antara mereka): Suingguh tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian kecuali jika kalian berdoa kepada Allah dengan amal saleh kalian. Salah satu di antara mereka berkata: Ya Allah, dulu saya punya bapak ibu yang sudah tua, dan saya tidak pernah mendahulukan seorangpun sebelum mereka untuk minum susu, baik keluarga maupun ternak saya. Suatu hari saya mencari kayu ke tempat yang jauh, sehingga saat pulang, mereka sudah tidur. Saya memerah susu dan mendapati keduanya tidur. Saya tidak ingin membangunkan mereka, dan tidak pula ingin mendahulukan yang lain minum. Sayapun menunggu keduanya bangun sampai terbit fajar, dan wadah susu tetap di tangan saya, padahal anak-anak menangis di kaki saya karena lapar. Ya Allah, jika saya telah melakukan hal itu karena semata mengharap pahala dariMu, maka bukakanlah batu yang menutup jalan kami. Batupun tergeser sedikit, tapi mereka belum bisa keluar. Orang yang kedua berdoa: Ya Allah, sungguh dulu ada sepupu wanita saya yang merupakan orang yang paling saya cintai. Saya telah merayunya, tapi ia menolak. Hingga suatu saat ia ditimpa masa paceklik, sehingga ia datang kepada saya. Saya memberinya 120 dirham dengan syarat ia mau melayani hasrat saya, dan ia setuju. Tapi ketika tak ada lagi yang bisa menghalangi saya dari 'perbuatan' itu, ia berkata: Takutlah Allah, dan jangan renggut keperawanan saya kecuali dengan pernikahan. Sayapun meninggalkannya, padahal tidak ada yang lebih saya cintai dari dia saat itu, dan saya tinggalkan juga emas yang telah saya berikan. Ya Allah, jika saya telah melakukan hal itu karena semata mengharap pahala dariMu, maka bukakanlah batu yang menutup jalan kami. Batupun tergeser sedikit lagi, tapi mereka belum bisa keluar. Sementara yang ketiga berjkata: Ya Allah, saya pernah mempekerjakan beberapa pekerja, dan telah memberi upah mereka semua, kecuali satu orang yang pergi meninggalkan haknya. Saya menginvestasikan upahnya, sehingga berkembang menjadi harta yang banyak. Beberap waktu kemudian, ia datang dan berkata: Wahai hamba Allah, berikan upahku! Sayapun menjawab: Semua unta, sapi, kambing dan budak yang kau lihat di depan matamu adalah hasil jerih payahmu. Ia berkata: Jangan mengejekku. Sayapun menjawab: Saya tidak mengejekmu. Akhirnya iapun membawa semua harta itu dan tidak sedikitpun ia tinggalkan. Ya Allah, jika saya telah melakukan hal itu karena semata mengharap pahala dariMu, maka bukakanlah batu yang menutup jalan kami. Batupun tergeser lagi, dan mereka berjalan keluar.

Orang yang ikhlas juga akan dicintai Allah dan para makhluk-Nya, sebagaimana firman Allah ta'ala:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمَنُ وُدًّا

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan memberikan rasa kasih sayang kepada mereka." (QS. Maryam : 96).
Menurut Ibnu Katsir, pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia akan menanamkan dalam hati-hati hamba-hamba-Nya yang saleh kecintaan terhadap orang-orang yang melakukan amal-amal saleh (yaitu amalan-amalan yang dilakukan ikhlas karena Allah dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya ).


Bagaimana meraih keikhlasan?

Untuk meraih keikhlasan dalam beramal, diperlukan taufik dari Allah Ta'ala dan usaha keras untuk meraihnya. Beberapa nasehat berikut insyaallah bisa membantu anda meraihnya:
1. Memohon kepada Allah agar diberikan keikhlasan dalam beramal, dan dimasukkan dalam golongan mukhlisin; karena keikhlasan adalah derajat tinggi yang merupakan anugerah Allah untuk orang-orang yang dipilihNya. Di antara doa Nabi  adalah :

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ

"Ya Allah, Sungguh saya berlindung kepadaMu dari berbuat syirik dalam keadaan tahu, dan saya memohon ampunan dari apa yang tidak saya ketahui." (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dishahihkan al-Albani)
2. Mengatur hati untuk ikhlas sebelum beramal. Imam Ahmad ditanya: Bagaimana cara niat dalam beramal? Beliau menjawab: Mengatur diri jika ingin beramal, untuk tidak mengharap pujian manusia.
3. Berusaha menyembunyikan amal kebaikan kita dari pandangan manusia, sebagaimana kita menyembunyikan keburukan kita.
4. Mengingat besarnya kerugian orang yang riya' dan tidak ikhlas dalam beramal, dan bahwa amalannya tidak bermanfaat jika tidak diiringi keikhlasan.
5. Mempelajari dan mencontoh sirah generasi awal umat Islam dalam bab ini.
6. Saling mengingatkan tentang hal ini, terutama pada saat-saat kita atau saudara kita diuji dengan hal ini, atau saat kita melihat tanda-tanda riya' pada saudara kita.

Potret Keteladanan salaf dalam menjaga keikhlasan

Generasi awal umat Islam adalah teladan yang patut diteladani dalam bab niat, sebagaimana mereka juga teladan dalam bidang agama yang lain. Banyak keteladanan yang telah mereka berikan dalam menjaga keikhlasan, antara lain dengan menyembunyikan amalan dan menghindari syuhrah (popularitas).

Ar-Rabi' bin al-Khutsaim tidak pernah terlihat melakukan shalat sunat di masjid, kecuali hanya sekali. Ia melakukannya di rumah, karena itu lebih selamat dari hal-hal yang mengurangi keikhlasan. Nabi  bersabda:

فَصَلُّوا أَيُّهَا النَّاسُ فِى بُيُوتِكُمْ ، فَإِنَّ أَفْضَلَ الصَّلاَةِ صَلاَةُ الْمَرْءِ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ الْمَكْتُوبَةَ

"Maka shalatlah wahai sekalian manusia di rumah kalian; karena sebaik-baik shalat adalah shalat sesorang di rumahnya, kecuali shalat yang diwajibkan." (HR. al-Bukhari)

Kaum dhuafa di Madinah suatu ketika kehilangan sedekah rahasia yang sering mereka dapati di depan rumah mereka. Keheranan tersebut terjawab ketika mereka mengurus jenazah Ali bin al-Husain. Di punggungnya ada bekas hitam. Rupanya, ia memiliki kebiasaan menggendong roti yang ia tempatkan pada sebuah wadah, lalu membagikannya kepada kaum papa Madinah di malam hari, tanpa sepengetahuan mereka. Ia menukil sabda Nabi :

إِنَّ صَدَقَةَ السِّرِّ تُطْفِئُ غَضَبَ الرَّبِ

"Sungguh sedekah rahasia itu memadamkan murka Rabb." (HR. ath-Thabrani, dishahihkan al-Albani)

Abdullah bin al-Mubarak sering singgah di kota Raqqah. Seorang pemuda biasa melayani keperluannya dan mendengar hadits darinya. Suatu saat, ia tidak mendapati pemuda itu saat singgah. Ia mendapat kabar bahwa si pemuda dipenjara karena tidak bisa membayar utang yang ditanggungnya, sebanyak 10.000 dirham. Malam harinya Abdullah memanggil orang yang punya piutang, membayar utang itu dan minta kepadanya agar tidak memberitahu seorangpun. Abdullah segera meninggalkan Raqqah malam itu dan esoknya si pemuda dikeluarkan dari penjara.

Suatu ketika Abdullah bin Mas'ud –radhiyallahu 'anhu- berjalan, dan orang-orang berkerumun mengikutinya. Ia berkata: Apa kalian punya keperluan? "Tidak, kami cuma ingin berjalan bersamamu", jawab mereka. Ibnu Mas'udpun berkata: "Pergilah kalian, karena hal ini adalah kehinaan bagi yang mengikuti, dan godaan bagi yang diikuti."

Wallahu Ta'ala a'lam.


Doa Mohon Keikhlasan

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَناَ أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ مِمَّا لاَ أَعْلَمُ
"Ya Allah, Sungguh saya berlindung kepadaMu dari berbuat syirik dalam keadaan tahu, dan saya memohon ampunan dari apa yang tidak saya ketahui."


Den izal family @ CyberCafe Adhizcombat © 2008. Tentang Linux Sponsored by: Linux Comment